Mata Kuliah Kewarganegaraan
Dosen :
Bpk. M. Taufik, S.Ag
Disusun oleh :
Kelompok 4
M. RICHFALDY VRIANSYAH | M. CHABIBMAULANA
R
| ENKA PRASISKA | ALDI NURMUHAIMIN
|
ALVIN STAQOUF AMIEN | CHAIRUN NISA
| DIDIT FIRMAN HANDOKO | PRIMA
HADI PERMANA |
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami (penulis) panjatkan
kepada Allah SWT, karena atas rahmat-Nya yang berlimpah, kami (penulis) dapat
menyusun makalah ini dengan baik sesuai dengan kemampuan kami untuk
menyelesaikan tugas Mata Kuliah kami, Kewarganegaraan dengan judul tugas
makalah “Perubahan Undang-Undang Dasar 1945”. Tidak lupa pula kami ucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan kepada kami
untuk menyelesaikan makalah ini. Untuk selanjutnya kami (penulis) mengharapkan
semoga makalah ini dapat menambah wawasan bagi kami sendiri dan juga mahasiswa
STMIK IKMI Cirebon.
Kami menyadari bahwa penyusunan
makalah ini jauh dari sempurna, untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik agar
makalah ini mendekati sempurna, kami sadar bahwa kesempurnaan hanya milik NYA.
Akhir kata, semoga makalah yang kami susun ini
berguna bagi kita semua.
Amin-amin yarabbal ‘alamin.
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia disahkan dan
ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18
Agustus 1945, istilah Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), pada saat itu ia
hanya bernama”OENDANG-OENDANG DASAR” tanpa tahun 1945. Baru kemudian dalam
Dekrit Presiden 1959 memakai UUD 1945 sebagaiamana yang di undangkan dalam
Lembaran Negara No.75 tahun 1959.
Di dalam perjalanan sejarah
ketatanegaraan di Indonesia telah membuktikan bahwa pernah berlaku tiga macam
Undang-Undang Dasar (Konstitusi) dalam empat periode pergantian konstitusi dari
awal mula Indonesia merdeka hingga sekarang yakni :
1. UUD 1945
pada tanggal 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949.
2. Konstitusi
RIS pada tanggal 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950.
3. UUD 1950
pada tanggal 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959.
4. UUD 1945
sejak dikeluarkanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 – sekarang.
(Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, dan
Ni’matul Huda, 2008 : 98-99 )
Jadi secara historis konstitusi di Indonesia ialah UUD 1945
yang merupakan juga salah satu Konstitusi yang paling singkat dan
sederhana di dunia. UUD 1945 terdiri dari 16 Bab, 37 Pasal, 4 Pasal Peralihan
dan 2 ayat Aturan Tambahan itu yang mengatur lima unsur yaitu kekuasaan
negara, hak rakyat, kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sejarah
pembuatannya yang kilat menyebabkan Soekarno pada waktu memberlakukan UUD 1945
bersifat sementara dan dapat disempurnakan pada saat nantinya sesuai dengan
perkembangan/perubahan di dalam kehidupan bermasyarakat Indonesia.( Valina
Singka Subekti ,2008:1-2 )
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Sejarah Terbentuknya UUD 1945
1. Pembahasan
oleh BPUPKI
Naskah UUD 1945 pertama kali
dipersiapkan oleh suatu badan bentukan pemerintahan Jepang yang diberi nama
“Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai” yang dalam bahasa Indonesia “Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia” (BPUPKI). BPUPKI ini beranggotakan
oleh 62 orang diiketuai oleh K.R.T Radjiman Wedyodiningrat, serta Itibangase
Yosio dan Raden Panji Suroso. Badan ini melaksanakan sidang dalam 2 periode,
yaitu sidang pertama pada tanggal 29 mei sampai 1 juni 1945. Pada
sidang pertama membicarakan mengenai dasar falsafah yang harus dipersiapkan
dalam rangka negara indonesia merdeka dan mengenai 2 pembentukan sebuah negara merdeka. Setelah itu sidang kedua
tanggal 10 juli sampai dengan 17 agustus 1945 yang dimana membentuk panitia
Hukum Dasar dengan anggota terdiri atas 19 orang yang diketuai oleh
Ir.Soekarno. Panitia ini membentuk panitia kecil yang diketuai oleh
Prof.Dr Soepomo, anggotanya terdiri dari wongsonegoro, R.Soekardjo, A.A.
Maramis, Panji Singgih, H. Agus Salim, dan Sukiman. Panitia kecil ini berhasil
menyelesaikan tugasnya dan akhirnya BPUPKI menyetujui hasil kerja sebagai
Rancangan Undang-Undang Dasar pada tanggal 16 agustus 1945.
2. Pengesahan
oleh PPKI
Pemerintah Bala Tentara Jepang
membentuk “panitia persiapan kemerdekaan Indonesia” (PPKI), yang dilantik pada
tanggal 18 agustus 1945. Dengan menetapkan Ir. Soekarno sebagai ketua dan Drs.
Mohhamat Hata sebagai wakilnya yang beranggotakan 21 orang. Sidang ini
bertujuan untuk, (I) Menetapkan Undang-undang Dasar, (II) Memilih Presiden dan
Wakil Presiden, (III) Dan Perihal lainnya. Setelah mendengarkan hasil laporan
kerja BPUPKI, kemudian pada sidang PPKI 18 agustus 1945 para anggota sidang
PPKI masih berencana untuk mengajukan usul perubahan pada UUD hasil rancangan
BPUPKI. Tetapi akhirnya rancangan UUD tersebut disahkan dan menjadi
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.(Jimly Asshiddiqie, 2006: 38-40 )
B. Pengertian Amandemen UUD 1945
Amandemen adalah proses perubahan terhadap ketentuan
dalam sebuah peraturan. Berupa penambahan maupun pengurangan/penghilangan
ketentuan tertentu. Amandemen hanya merubah sebagai ( kecil ) dari peraturan.
Sedangkan penggantian peraturan terhadap ketentuan dalam UUD 1945. Amandemen
UUD 1945 dilakukan sebanyak 4 kali. Keempat tahap amandemen tersebut adalah
sebagai berikut:
- Amandemen pertama: dalam sidang umum MPR oktober 1999
- Amandemen kedua: dalam sidang tahunan MPR tahun 2000
- Amandemen ketiga: dalam sidang tahunan MPR oktober 2001
- Amandemen keempat: dalam siding tahunan MPR Agustus 2002
1.
Amandemen pertama menyakut 5 persoalan pokok. Kelima persoalan
itu meliputi:
§
Perubahan tentang lembaga pemegang kekuasaan membuat
undang- undang
§
Perubahan tentang masa jabatan presiden
§
Perubahan tentang hak prerogative presiden
§
Perubahan tentang fungsi menteri
§
Perubahan redaksional
2.
Amandemen kedua dilakukan terhadap 9 persoalan.
Kesembilan persoalan tersebut meliputi pengaturan mengenai:
§
Wilayah Negara
§
Hak hak asasi manusia
§
DPR
§
Pemerintahan Daerah
§
Pertahan dan keamanan
§
Lambang Negara
§
Lagu kebangsaan
3.
Amandemen ketiga berkenaan dengan 16 persoalan pokok.
Persoalan itu meliputi:
§
Kedaulatan rakyat
§
Tugas MPR
§
Syarat syarat presiden dan wakil presiden
§
Pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung
§
Pemberentian Presiden
§
Presiden berhalangan tetap
§
Kekosongan wakil presiden
§
Perjanjian internasional
§
Kementrian Negara
§
DPD
§
Pemilihan umum
§
APBN, pajak dan keuangan Negara
§
Badan pemeriksa keuangan
§
Kekuasaan kehakiman dan Mahkamah Agung
§
Komisi yudisial
§
Mahkamah Konstitusi
4.
Amandemen keempat berkenaan dengan 12 persoalan.
Persoalan tersebut adalah:
§
Komposisi keanggotaan MPR
§
Pemilu presiden dan wakil presiden
§
Presiden dan wakil presiden tidak dapat menjalankan
kewajiban dalam masa jabatan secara bersamaan
§
Dewan pertimbangan yang bertugas member nasihat
presiden
§
Mata uang
§
Bank sentral
§
Badan badan lain dalam kekuasan kehakiman
§
Pendidikan
§
Kebudayaan
Bagi pendukungnya, amandemen tersebut dinilai sebagai
keberhasilan. Tidak demikian halnya bagi penentangnya. Menurut mereka,
semestinya UUD 1945 ( konstitusi 1 ) tidak perlu diamandemenkan.
C. UUD 1945 Sebelum dan Sesudah Amandemen
Secara yuridis, UUD 1945 sebelum
amandemen sejak kurun waktu 1966-1998 adalah sebagai sumber hukum formal dalam
penyelenggaraan ketatanegaraan Indonesia pada masa orde baru oleh Presiden
Soeharto, tetapi dalam UUD 1945 sebelum Amandemen ini terdapat hal-hal
penyimpangan seperti: (a)Terjadi pemusatan kekuasaan di tangan Presiden,
sehingga pemerintahan dijalankan secara otoriter. (b) Pemilu dilaksanakan
secara tidak demokratis, pemilu hanya menjadi sarana untuk mengukuhkan
kekuasaan seorang Presiden ( Soeharto ), sehingga presiden terus menerus
dipilih kembali.
Pada era reformasi muncul tuntutan
dari berbagai kalangan untuk mengamendemen UUD 1945. Kemudian keinginan untuk
melakukan amandemen terhadap UUD 1945 pada awal masa reformasi ( 1998-1999 )
yang dilakukan oleh MPR yang mengambil sikap maju dan berani dengan memutuskan
perlunya amandemen dengan alasan demokratisasi. Contoh yang paling konkret
adalah ketentuan dalam UUD 1945 sebelum amandemen tentang Presiden sebagai
pemegang kekuasaan legislatif dengan persetujuan DPR, UUD 1945 hasil amandemen
dengan tegas menyatakan bahwa kekuasaan legislatif dipegang oleh DPR.
Selanjutnya UUD 1945 telah mengalami empat kali perubahan yaitu perubahan
pertama pada tahun 1999, kedua pada tahun 2000, ketiga pada tahun2001, keempat
pada tahun 2002. Pasca perubahan keempat UUD 1945, konstitusi ini resmi
disebut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
D. Bentuk Perubahan
Dari uraian di atas, dapat diketahui
bahwa dalam sejarah ketata- negaraan Indonesia merdeka, telah tercatat beberapa
upaya, (a) pem- bentukan Undang-Undang Dasar, (b) penggantian Undang-Undang
Dasar, dan (c) perubahan dalam arti pembaruan Undang-Undang Dasar. Pada
tahun 945, Undang-Undang Dasar 945 dibentuk atau disusun oleh Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) se- bagai hukum dasar bagi Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang kemerdekaannya diproklamasikan pada tanggal 7 Agustus
945.
Pada tahun 1949, ketika bentuk
Negara Republik Indonesia diubah menjadi Negara Serikat (Federasi), diadakan
penggantian konstitusi dari Undang-Undang Dasar 1945 ke Konstitusi Republik
Indonesia Serikat Tahun 1949. Demikian pula pada tahun 1950, ketika bentuk
Negara Indonesia diubah lagi dari bentuk Negara Serikat menjadi Negara
Kesatuan, Konstitusi RIS 1949 diganti dengan Undang-Un- dang Dasar Sementara
Tahun 1950. Setelah itu, mulailah diadakan usaha untuk menyusun Undang- Undang
Dasar baru sama sekali dengan dibentuknya lembaga Konsti- tuante yang secara
khusus ditugaskan untuk menyusun konstitusi baru.
Setelah Konstituante terbentuk,
diadakanlah persidangan-per- sidangan yang sangat melelahkan mulai tahun 1956
sampai tahun 1959, dengan maksud menyusun Undang-Undang Dasar yang bersifat
tetap. Akan tetapi, sejarah mencatat bahwa usaha ini gagal diselesaikan,
sehingga pada tanggal 5 Juli 1959,
Presiden Soekarno mengeluarkan keputusannya yang dikenal dengan sebutan Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 yang isinya antara lain membubarkan Konstitu- ante dan
menetapkan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 menjadi hukum dasar dalam Negara
Kesatuan Republik Indo- nesia.
Perubahan dari Undang-Undang Dasar
Sementara Tahun 1950 ke Undang-Undang Dasar 1945 ini tidak ubahnya bagaikan
tindakan penggantian Undang-Undang Dasar juga. Karena itu, sampai dengan
berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 itu, dalam sejarah ketatanegaraan
Indonesia modern belum pernah terjadi perubahan dalam arti pembaruan
Undang-Undang Dasar, melainkan baru pe-rubahan dalam arti pembentukan,
penyusunan, dan penggantian Undang-Undang Dasar. Perubahan dalam arti pembaruan
Undang-Undang Dasar, baru terjadi setelah bangsa Indonesia memasuki era
reformasi pada ta- hun 1998, yaitu setelah Presiden Soeharto berhenti dan
digantikan oleh Presiden B.J. Habibie, barulah pada tahun 1999 dapat diadakan
Perubahan terhadap Undang-Undang Dasar
945 sebagaimana mes- tinya.
Perubahan Pertama ditetapkan oleh
Sidang Umum Majelis Per- musyawaratan Rakyat pada tahun 1999, disusul dengan
Perubahan Kedua dalam Sidang Tahunan Tahun 2000 dan Perubahan Ketiga dalam
Sidang Tahunan Tahun 2000 . Pada Sidang Tahunan Tahun 2002, disahkan pula
naskah Perubahan Keempat yang melengkapi naskah-naskah Perubahan sebelumnya,
sehingga keseluruhan materi perubahan itu dapat disusun kembali secara lebih
utuh dalam satu naskah Undang-Undang Dasar yang mencakupi keseluruhan hukum
dasar yang sistematis dan terpadu.
Kedua bentuk perubahan Undang-Undang
Dasar seperti tersebut, yaitu penggantian dan perubahan pada pokoknya sama-sama
meru- pakan perubahan dalam arti luas. Perubahan dari Undang-Undang Dasar 1945
ke Konstitusi RIS 1949, dan begitu juga dari Undang-Un- dang Sementara Tahun 1950
ke Undang-Undang Dasar 1945 adalah contoh tindakan penggantian Undang-Undang
Dasar.
Sedangkan perubahan Undang-Undang
Dasar 1945 dengan naskah Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat adalah
contoh perubahan Undang-Undang Dasar melalui naskah Perubahan yang tersendiri.
Di samping itu, ada pula bentuk perubahan lain seperti yang biasa dipraktekkan
di beberapa negara Eropa, yaitu perubahan yang dila- kukan dengan cara memasukkan
(insert) materi baru ke dalam naskah Undang-Undang Dasar. Cara terakhir ini,
boleh jadi, lebih tepat dise- but sebagai pembaruan terhadap naskah lama
menjadi naskah baru, yaitu setelah diadakan pembaruan dengan memasukkan
tambahan materi baru tersebut. Berkenaan dengan prosedur perubahan
Undang-Undang Dasar, dianut adanya tiga tradisi yang berbeda antara satu negara
dengan negara lain. Pertama, kelompok negara yang mempunyai kebiasaan mengubah
materi Undang-Undang Dasar dengan langsung memasukkan materi perubahan itu ke
dalam naskah Undang-Undang Dasar.
Dalam kelompok ini dapat disebut,
misalnya, Republik Perancis, Jerman, Belanda, dan sebagainya. Konstitusi
Perancis, misalnya, terakhir kali diubah dengan cara pembaruan yang diadopsikan
ke dalam naskah aslinya pada tanggal 8 Juli 1999 lalu, yaitu dengan
mencantumkan tambahan ketentuan pada Article 1, Article4 dan ketentuan baru
Article 5-273 naskah asli Konstitusi Perancis yang biasa disebut sebagai
Konstitusi Tahun 1958. Sebelum terakhir diamandemen pada tanggal 8 Juli 1999,
Konstitusi Tahun 1958 itu juga pernah
diubah beberapa kali, yaitu penambahan ketentuan mengenai pemilihan presiden
secara langsung pada tahun 1962, tambahan pasal mengenai pertanggungjawaban
tindak pidana oleh pemerintah yaitu pada tahun 1999, dan diadakannya perluasan
ketentuan mengenai pelaksanaan referendum, sehingga naskah Konstitusi Perancis
menjadi seperti sekarang. Keseluruhan materi perubahan itu langsung dimasukkan
ke dalam teks konstitusi. Kedua, kelompok negara-negara yang mempunyai
kebiasaan mengadakan penggantian naskah Undang-Undang Dasar.
Di lingkungan negara-negara ini,
naskah konstitusi sama sekali diganti dengan naskah yang baru, seperti
pengalaman Indonesia dengan Konstitusi RIS tahun 1949 dan UUDS Tahun 1950. Pada umumnya,
negara-negara demikian ini terhitung sebagai negara yang sistem politiknya
belum mapan. Sistem demokrasi yang dibangun masih bersifat jatuh bangun, dan
masih bersifat 'trial and error'. Negara-negara miskin dan yang sedang
berkembang di Asia dan Afrika, banyak yang dapat dikategorikan masih berada
dalam kondisi demikian ini. Tetapi pada umumnya, tradisi penggantian naskah
konstitusi itu tidaklah dianggap ideal. Praktek penggantian konstitusi itu
terjadi semata-mata karena keadaan keterpaksaan. Oleh karena itu, kita perlu
menyebut secara khusus tradisi yang dikembangkan oleh Amerika Serikat sebagai
model ketiga, yaitu per- ubahan konstitusi melalui naskah yang terpisah dari
teks aslinya, yang disebut sebagai amandemen pertama, kedua, ketiga, keempat,
dan seterusnya. Dengan tradisi demikian, naskah asli Undang-Undang Dasar tetap
utuh, tetapi kebutuhan akan perubahan hukum dasar dapat dipenuhi melalui naskah
tersendiri yang dijadikan adendum tambahan terhadap naskah asli tersebut.
Dapat dikatakan, tradisi perubahan
demikian memang dipelopori oleh Amerika Serikat, dan tidak ada salahnya
negara-negara demokrasi yang lain, termasuk Indonesia untuk mengikuti prosedur
yang baik seperti itu. Perubahan UUD 945
yang telah berlangsung empat kali berturut-turut sampai sekarang74,
sesungguhnya, tidak lain juga mengikuti mekanisme perubahan gaya Amerika
Serikat itu.
E. Prosedur Perubahan
Mudah tidaknya prosedur perubahan
dilaksanakan, mendapat perhatian yang penting dalam studi hukum tata negara.
Bahkan, telah mengenai tipologi konstitusi dikaitkan oleh para ahli dengan
sifat rigid atau fleksibelnya suatu naskah Undang-Undang Dasar mengha- dapi
tuntutan perubahan. Jika suatu konstitusi mudah diubah, maka konstitusi itu
disebut bersifat 'fleksibel', tetapi jika sulit mengubahnya maka konstitusi
tersebut disebut 'rigid' atau kaku. Kadang-kadang, kekakuan suatu undang-undang
dasar dikaitkan dengan tingkat ab- straksi perumusannya ataupun dengan rinci
tidaknya norma aturan dalam konstitusi itu dirumuskan. Kalau Undang-Undang
Dasar itu hanya memuat garis besar ketentuan yang bersifat umum, maka
konstitusi itu juga kadang-kadang disebut 'soepel' dalam arti lentur dalam
penafsirannya. Makin ringkas susunan suatu Undang-Undang Dasar, makin umum dan abstrak perumusannya,
maka makin 'soepel' dan 'fleksibel' penafsiran Undang-Undang Dasar itu sebagai
hukum dasar.
Namun, karena tingkat abstraksi
perumusan hukum dasar dianggap sebagai sesuatu yang niscaya, maka soal prosedur
perubahanlah yang dianggap lebih penting dan lebih menentukan kaku atau 'rigid'
tidaknya suatu Undang-Undang Dasar. Makin ketat prosedur dan makin rumit
mekanisme perubahan, makin 'rigid' tipe konstitusi itu disebut.
Konstitusi Perancis Tahun 1958
sebagaimana terakhir diubah pada bulan Juli tahun 1999, dapat dinilai jauh
lebih rumit menentu- kan prosedur perubahannya. Dalam Article 89 tentang
perubahan, Konstitusi Perancis menentukan76: "The President of the
Republic, on a proposal by the Prime Minister, and Members of Parliament alike
shall have the right to initiate amendment of the Constitution. A government or
a Member's bill to amend the Constitution shall be passed by the two assemblies
in identical terms. The amendment shall have effect after approval by
referendum. However, a government bill to amend the Constitution shall not be
submitted to referendum where the President of the Republic decides to submit
it to Parliament convened in Congress; the government bill to amend the
Constitution shall then be approved only if it is adopted by a three-fifths
majority of the votes cast. The Bureau of the Congress shall be that of the
National Assembly. No amendment procedure shall be commenced or continued where
the integrity of the territory is jeopardized. The republican form of
government shall not be the object of an amendment."
Dari ketentuan di atas, dapat
diketahui bahwa usul perubahan Undang-Undang Dasar dapat datang dari inisiatif
Presiden, atas usul Perdana Menteri dan Anggota Parlemen. Jika yang mengajukan
usul itu adalah pemerintah atau perorangan anggota parlemen, maka rancangan
perubahan itu harus mendapat persetujuan di kedua kamar parlemen. Akan tetapi
perubahan itu baru dinyatakan berlaku secara resmi apabila telah mendapat
persetujuan langsung dari rak- yat melalui referendum. Rancangan Perubahan yang
datang dari pemerintah, tidak akan diajukan ke referendum apabila Presiden
menghendaki untuk mengajukan rancangan itu kepada parlemen. Dalam hal demikian,
perubahan dinyatakan sah apabila mendapat dukungan mayoritas 5 suara dalam kongres. Prosedur perubahan ini
dinyatakan tidak berlaku atau tidak dapat dilaksanakan jika integritas wilayah
negara dianggap terancam. Di samping itu, ben- tuk pemerintahan republik,
menurut ketentuan Article 89 tersebut, dikecualikan atau tidak boleh dijadikan
objek perubahan.
Mirip dengan Perancis, Konstitusi
Irlandia juga 'rigid' dan su- kar untuk diubah. Sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Dasar Irlandia sebagaimana terakhir diubah pada tahun 1917,
perubahan Undang-Undang Dasar hanya dapat dilakukan oleh 'constituent power'.
Perubahan dapat disahkan apabila disetujui oleh kedua kamar parlemen Irlandia,
dan selanjutnya, sebelum dinyatakan berlaku secara resmi harus terlebih dulu
mendapat dukungan persetujuan dari rakyat secara langsung melalui referendum77.
Dalam hubungan mekanisme dan prosedur perubahannya itu, maka, baik Konstitusi
Perancis maupun Konstitusi Irlandia, sama-sama dapat dinilai lebih 'rigid'
daripada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Perubahan undang-undang dasar harus
diikuti pula oleh perubahan budaya masyarakat, perubahan budaya birokrasi yang
kondusif untuk pelaksanaan nilai-nilai konstitusi untuk menjadi bangsa yang
sejahtera dan bermartabat. Sebab tanpa perubahan budaya tersebut jurang pemisah
antara harapan dan kenyataan akan tetap lebar. Bangsa Indonesia harus bergerak
dari regulasi ke implementasi secara konsisten dengan kecerdasan menangkap peluang-peluang
yang terbuka di hadapan kita.
BAB 3
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam empat kali perubahan
Undang-Undang Dasar secara kuantitatif dan kualitatif sebetulnya wajah
Undang-Undang Dasar sebelum perubahan nyaris tak dikenali lagi. Jimly
Asshiddiqie (2006:61) antara lain mengemukakan ”Dari segi kuantitatif saja
sudah dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya UUDNRI Tahun 1945 setelah mengalami
empat kali perubahan, sudah berubah sama sekali menjadi satu konstitusi baru.
Hanya nama saja yang dipertahankan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, sedangkan isinya sudah berubah secara besar-besaran.”
Lalu mengapa setelah lebih dari 10
tahun perubahan UUDNRI Tahun 1945 harapan yang menyertai perubahan UUDNRI Tahun
1945 tersebut belum menjadi kenyataan? Apakah karena kelemahan yang interen
dengan UUDNRI Tahun 1945 pasca perubahan ataukah karena bangsa kita kehabisan
energi sosial untuk semakin mendekatkan kenyataan dengan harapan?
Sesungguhnya untuk mengubah
undang-undang dasar tidak mudah, tetapi yang tidak kalah sulitnya ialah
membangun budaya taat berkonstitusi. Oleh karena itu diperlukan upaya yang
bersungguh-sungguh dan dilakukan secara berkelanjutan oleh segenap lapisan
masyarakat dengan keteladanan dari para pemimpin. Spirit konstitusionalisme
harus disemai dan terus dipupuk agar tumbuh subur dalam kesadaran masyarakat,
terutama dikalangan para penyelenggara negara dan para pemimpin politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar