KATA PENGANTAR
Segala
puji bagi Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-Nya yang telah memberikan
nikmat kesehatan dan hikmat kepada kami sehingga makalah ini dapat diselesaikan
dengan baik dan sesuai dengan waktu yang telah direncanakan.
Makalah berjudul “TAQWA
(Arti dan Ruang Lingkup Taqwa, Hubungan Denggan Allah SWT & Hubungan Dengan
Manusia)”, disusun untuk memenuhi tugas Agama, program studi Teknik
Informatika, STMIK IKMI Cirebon.
Kami
ucpkan banyak terima kasih kepada bapak Maskuri, S.Ag selaku dosen mata kuliah Agama
dan kepada teman-teman program studi Teknik Informatika, kelompok 5,
1-TI-G1/G2.
Kami
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran sangat diharapkan demi perbaikan di kemudian hari. Semoga makalh ini
bermanfaat bagi kita semua.
Cirebon,
10 Desember 2013
Kelompok
5 1-TI-G1/G2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................. ....... 1
DAFTAR ISI ...................................................................... ....... 2
BAB I: Pendahuluan
A. Latar Belakang................................................... ....... 3
B. Rumusan Masalah............................................... ....... 4
C. Tujuan Penulisan................................................ ....... 4
BAB II: Pembahasan
A. Pengertian,
Kedudukan Dan Luang Lingkup Takwa
1. Pengertian Dan
Kedudukan Takwa........................ ....... 5
2. Luanglingkup Takwa:
·
Hubungan
Dengan Allah Swt............................. ....... 6
·
Hubungan
Manusia Dengan Dirinya Sendiri......... ....... 7
·
Hubungan
Manusia Dengan Manusia.................. ....... 9
·
Hubungan
Manusia Dan Lingkungan Hidup.......... 11
BAB III: Penutup
KESIMPULAN................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA............................................................... ....... 14
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Taqwa adalah kumpulan semua kebaikan yang
hakikatnya merupakan tindakan seseorang untuk melindungi dirinya dari hukuman
Allah dengan ketundukan total kepada-Nya. Asal-usul taqwa adalah menjaga dari
kemusyrikan, dosa dari kejahatan dan hal-hal yang meragukan (syubhat).
Seruan Allah pada surat
Ali Imran ayat 102 yang berbunyi, “Bertaqwalah kamu sekalian dengan
sebenar-benarnya taqwa dan janganlah kamu sekali-kali mati kecuali dalam
keadaan muslim”, bermakna bahwa Allah harus dipatuhi dan tidak ditentang,
diingat dan tidak dilupakan, disyukuri dan tidak dikufuri.
Taqwa adalah bentuk
peribadatan kepada Allah seakan-akan kita melihat-Nya dan jika kita tidak
melihat-Nya maka ketahuilah bahwa Dia melihat kita. Taqwa adalah tidak terus
menerus melakukan maksiat dan tidak terpedaya dengan ketaatan. Taqwa kepada
Allah adalah jika dalam pandangan Allah seseorang selalu berada dalam keadaan
tidak melakukan apa yang dilarang-Nya, dan Dia melihatnya selalu.
Umar bin Abdul Aziz rahimahullah juga menegaskan bahwa
“ketakwaan bukanlah menyibukkan diri dengan perkara yang sunnah namun
melalaikan yang wajib”. Beliau rahimahullah berkata, “Ketakwaan kepada Allah
bukan sekedar dengan berpuasa di siang hari, sholat malam, dan menggabungkan
antara keduanya. Akan tetapi hakikat ketakwaan kepada Allah adalah meninggalkan
segala yang diharamkan Allah dan melaksanakan segala yang diwajibkan Allah.
Barang siapa yang setelah menunaikan hal itu dikaruni amal kebaikan maka itu
adalah kebaikan di atas kebaikan
Termasuk dalam cakupan takwa, yaitu dengan membenarkan berbagai
berita yang datang dari Allah dan beribadah kepada Allah sesuai dengan tuntunan
syari’at, bukan dengan tata cara yang diada-adakan (baca: bid’ah). Ketakwaan
kepada Allah itu dituntut di setiap kondisi, di mana saja dan kapan saja. Maka
hendaknya seorang insan selalu bertakwa kepada Allah, baik ketika dalam keadaan
tersembunyi/sendirian atau ketika berada di tengah keramaian/di hadapan orang
(lihat Fath al-Qawiy al-Matin karya Syaikh Abdul Muhsin al-’Abbad hafizhahullah
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa itu
taqwa?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Ingin
mengetahui apa itu taqwa?
2.
Ingin
mengetahui bagaimana ruang lingkup taqwa?
3.
Ingin
mengetahui bagaimana ciri- ciri orang bertaqwa?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian dan Kedudukan Taqwa
Taqwa berasal dari kata
waqa, yaqi dan wiqayah yang berarti takut, menjaga, memelihara dan melindungi.
Maka taqwa dapat diartikan sebagai sikap memelihara keimanan yang diwujudkan
dalam pengalaman ajaran agama islam. Taqwa secara bahasa berarti penjagaan/ perlindungan
yang membentengi manusia dari hal-hal yang menakutkan dan mengkhawatirkan. Oleh
karena itu, orang yang bertaqwa adalah orang yang takut kepada Allah
berdasarkan kesadaran dengan mengerjakan perintah-Nya dan tidak melanggar
larangan-Nya kerena takut terjerumus ke dalam perbuatan dosa.
Taqwa adalah sikap mental seseorang yang
selalu ingat dan waspada terhadap sesuatu dalam rangka memelihara dirinya dari
noda dan dosa, selalu berusaha melakukan perbuatan-perbuatan yang baik dan
benar, pantang berbuat salah dan melakukan kejahatan pada orang lain, diri
sendiri dan lingkungannya.
Dari berbagai makna yang
terkandung dalam taqwa, kedudukannya sangat penting dalam agama islam dan
kehidupan manusia karena taqwa adalah pokok dan ukuran dari segala pekerjaan
seorang muslim.
Umar bin Abdul Aziz rahimahullah juga menegaskan bahwa “ketakwaan bukanlah
menyibukkan diri dengan perkara yang sunnah namun melalaikan yang wajib”.
Beliau rahimahullah berkata, “Ketakwaan kepada Allah bukan sekedar dengan
berpuasa di siang hari, sholat malam, dan menggabungkan antara keduanya. Akan
tetapi hakikat ketakwaan kepada Allah adalah meninggalkan segala yang
diharamkan Allah dan melaksanakan segala yang diwajibkan Allah. Barang siapa
yang setelah menunaikan hal itu dikaruni amal kebaikan maka itu adalah kebaikan
di atas kebaikan.
Termasuk dalam cakupan takwa, yaitu dengan membenarkan berbagai berita yang
datang dari Allah dan beribadah kepada Allah sesuai dengan tuntunan syari’at,
bukan dengan tata cara yang diada-adakan (baca: bid’ah). Ketakwaan kepada Allah
itu dituntut di setiap kondisi, di mana saja dan kapan saja. Maka hendaknya
seorang insan selalu bertakwa kepada Allah, baik ketika dalam keadaan
tersembunyi/sendirian atau ketika berada di tengah keramaian/di hadapan orang
(lihat Fath al-Qawiy al-Matin karya Syaikh Abdul Muhsin al-’Abbad hafizhahullah
- Hubungan manusia dengan Allah SWT
- Hubungan manusia dengan hati nurani dan dirinya sendiri
- Hubungan manusia dengan sesama manusia
- Hubungan manusia dengan lingkungan hidup
Hubungan Dengan Allah SWT
Seorang yang bertaqwa (muttaqin)
adalah seorang yang menghambakan dirinya kepada Allah SWT dan selalu menjaga
hubungan dengannya setiap saat sehingga kita dapat menghindari dari kejahatan
dan kemunkaran serta membuatnya konsisten terhadap aturan-aturan Allah.
Memelihara hubungan dengan Allah dimulai dengan melaksanakan ibadah secara
sunguh-sungguh dan ikhlas seperti mendirikan shalat dengan khusyuk sehingga
dapat memberikan warna dalam kehidupan kita, melaksanakan puasa dengan ikhlas
dapat melahirkan kesabaran dan pengendalian diri, menunaikan zakat dapat
mendatangkan sikap peduli dan menjauhkan kita dari ketamakan. Dan hati yang
dapat mendatangkan sikap persamaan, menjauhkan dari takabur dan mendekatkan
diri kepada Allah SWT. Segala perintah-perintah Allah tersebut ditetapkannya
bukan untuk kepentingan Allah sendiri melainkan merupakan untuk keselamatan
manusia.
Ketaqwaan kepada Allah
dapat dilakukan dengan cara beriman kepada Allah menurut cara-cara yang
diajarkan-Nya melalui wahyu yang sengaja diturunkan-Nya untuk menjadi petunjuk
dan pedoman hidup manusia, seperti yang terdapat dalam surat Ali-imran ayat 138:
“inilah (Al-quran)
suatu ketenangan bagi manusia dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang
yang bertaqwa “. (QS. Ali-imran 3:138)
manusia juga harus
beribadah kepada Allah dengan menjalankan shalat lima waktu, menunaikan zakat,
berpuasa selama sebulan penuh dalam setahun, melakukan ibadah haji sekali dalam
seumur hidup, semua itu kita lakukan menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan-Nya.
Sebagai hamba Allah sudah sepatutnya kita bersyukur atas segala nikmat yang
telah diberikan-Nya, bersabar dalam menerima segala cobaan yang diberikan oleh
Allah serta memohon ampun atas segala dosa yang telah dilakukan.
Hubungan Manusia Dengan
Dirinya Sendiri
Selain kita harus
bertaqwa kepada Allah dan berhubungan baik dengan sesama serta lingkungannya,
manusia juga harus bisa menjaga hati nuraninya dengan baik seperti yang telah
dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW dengan sifatnya yang sabar, pemaaf, adil,
ikhlas, berani, memegang amanah, mawas diri dll. Selain itu manusia juga harus
bisa mengendalikan hawa nafsunya karena tak banyak diantara umat manusia yang
tidak dapat mengendalikan hawa nafsunya sehingga semasa hidupnya hanya menjadi
budak nafsu belaka seperti yang tertulis dalam Al-quran Surat Yusuf ayat 53:
“Dan aku tidak
membebaskan diriku (berbuat kesalahan), sesungguhnya nafsu itu menyuruh kepada
kejahatan, kecuali siapa yang diberi rahmat oleh tuhanku. Sesungguhnya tuhanku
maha pengampum lagi maha penyayang”. (QS. Yusuf 12:53)
Maka dari itu umat
manusia harus bertaqwa kepada Allah dan diri sendiri agar mampu mengendalikan
hawa nafsu tersebut. Ketaqawaan terhadap diri sendiri dapat ditandai dengan
ciri-ciri, antara lain :
1)
Sabar
2)
Tawaqal
3)
Syukur
4)
Berani
Sebagai umat manusia
kita harus bersikap sabar dalam menerima apa saja yang datang kepada dirinya,
baik perintah, larangan maupun musibah. Sabar dalam menjalani segala perintah
Allah karena dalam pelaksanaan perintah tersebut terdapat upaya untuk
mengendalikan diri agar perintah itu bisa dilaksanakan dengan baik. Selain
bersabar, manusia juga harus selalu berusaha dalam menjalankan segala sesuatu
dan menyerahkan hasilnya kepada Allah (tawaqal) karena umat manusia hanya bisa
berencana tetapi Allah yang menentukan, serta selalu bersyukur atas apa yang
telah diberikan Allah dan berani dalam menghadapi resiko dari seemua perbuatan
yang telah ditentukan.
Hubungan Manusia Dengan Manusia
Agama islam mempunyai
konsep-konsep dasar mengenai kekeluargaan, kemasyarakatan, kebangasaan dll.
Semua konsep tersebut memberikan gambaran tentang ajaran-ajaran yang
berhubungan dengan manusia dengan manusia (hablum minannas) atau disebut pula
sebagai ajaran kemasyarakatan, manusia diciptakan oleh Allah terdiri dari
laki-laki dan perempuan. Mereka hidup berkelompok-kelompok, berbangsa-bangsa
dan bernegara. Mereka saling membutuhkan satu sama lain sehingga manusia
dirsebut sebagai makhluk social. Maka tak ada tempatnya diantara mereka saling
membanggakan dan menyombongkan diri., sebab kelebihan suatu kaum tidak terletak
pada kekuatannya, harkat dan martabatnya, ataupun dari jenis kelaminnya karena
bagaimanapun semua manusia sama derajatnya dimata allah, yang membedakannya
adalah ketaqwaannya. Artinya orang yang paling bertaqwa adalah orang yang
paling mulia disisi ALLAH SWT.
Hubungan dengan allah
menjadi dasar bagi hubungan sesama manusia. Hubungan antara manusia ini dapat
dibina dan dipelihara antara lain dengan mengembangkan cara dan gaya hidupnya
yang selaras dengan nilai dan norma agama, selain itu sikap taqwa juga tercemin
dalam bentuk kesediaan untuk menolong orang lain, melindungi yang lemah dan
keberpihakan pada kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu orang yang bertaqwa
akan menjadi motor penggerak, gotong royong dan kerja sama dalam segala bentuk
kebaikan dan kebijakan.
Surat Al-baqarah ayat
177:
“Bukanlah
menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatukebajikan, akan tetapi sesungguhnya
kebajikan itu ialah beriman kepada allah, hari kemudian, malaikat, kitab, nabi,
danmemberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, oaring miskin,
musafir(yang memerlukan pertolongan), dan orang-orangyang meminta-minta, dan
(merdekakanlah)hamba sahaya, mendirikan shalat danmenunaikan zakat. Dan
orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji dan orang yang bersabar
dalam kesempatan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang yang
benar(imannya)mereka itulah orang yang bertaqwa. (Al- baqarah 2:177).
Dijelaskan bahwa
ciri-ciri orang bertaqwa ialah orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian,
malaikat dan kitab Allah. Aspek tersebut merupakan dasar keyakinan yang
dimiliki orang yang bertaqwa dan dasar hubungan dengan Allah. Selanjutnya Allan
menggambarkan hubungan kemanusiaan, yaitu mengeluarkan harta dan orang-orang
menepati janji. Dalam ayat ini Allah menggambarkan dengan jelas dan indah,
bukan saja karena aspek tenggang rasa terhadap sesama manusia dijelaskan secara
terurai, yaitu siapa saja yang mesti diberi tenggang rasa, tetapi juga
mengeluarkan harta diposisikan antar aspek keimanan dan shalat.
Hubungan Manusia dan Lingkungan
Hidup
Taqwa dapat di tampilkan
dalam bentuk hubungan seseorang dengan lingkungan hidupnya. Manusia yang
bertakwa adalah manusia yang memegang tugas kekhalifahannya di tengah alam,
sebagai subjek yang bertanggung jawab menggelola dan memelihara lingkungannya.
Sebagai penggelola, manusia akan memanfaatkan alam untuk kesejahteraan hidupnya
didunia tanpa harus merusak lingkungan disekitar mereka. Alam dan segala
petensi yang ada didalamnya telah diciptakan Allah untuk diolah dan
dimanfaatkan menjadi barang jadi yang berguna bagi manusia.
Alam yang penuh dengan
sumber daya ini mengharuskan manusia untuk bekerja keras menggunakan tenaga dan
pikirannya sehingga dapat menghasilkan barang yang bermanfaat bagi manusia.
Disamping itu, manusia bertindak pula sebagai penjaga dan pemelihara lingkungan
alam. Menjaga lingkunan adalah memberikan perhatian dan kepedulian kepada
lingkungan hidup dengan saling memberikan manfaat. Manusia memanfaatkan
lingkungan untuk kesejahteraan hidupnya tanpa harus merusak dan merugikan
lingkungan itu sendiri.
Orang yang bertaqwa
adalah orang yang mampu menjaga lingkungan dengan sebaik-baiknya. Ia dapat
mengelola lingkungan sehingga dapat bermanfaat dan juga memeliharanya agar
tidak habis atau musnah. Fenomena kerusakan lingkungan sekarang ini menunjukan
bahwa manusia jauh dari ketaqwaan. Mereka mengeksploitasi alam tanpa
mempedulikan apa yang akan terjadi pada lingkungan itu sendiri dimasa depan
sehingga mala petaka membayangi kehidupan manusia. Contoh dari mala petaka itu
adalah hutan yang dibabat habis oleh manusia mengakibatkan bencana banjir dan
erosi tanah sehingga terjadi longsor yang dapat merugikan manusia.
Bagi orang yang
bertaqwa, lingkungan alam adalah nikmat Allah yang harus disyukuri dengan cara
memenfaatkan dan memelihara lingkungan tersebut dengan sebaik-baiknya.
Disamping itu alam ini juga adalah amanat yang harus dipelihara dan dirawat
dengan baik. Mensyukuri nikmat Allah dengan cara ini akan menambah kualitas
nikmat yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Sebaliknya orang yang tidak
bersyukur terhadap nikmat Allah akan diberi azab yang sangat menyedihkan. Azab
Allah dalam kaitan ini adalah bencana alam akibat eksploitasi alam yang tanpa
batas karena kerusakan manusia.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Amal ibadah itu sama,
ada yang lahir maupun yang batin adalah syariat. Kita beramal dan bersyariat
untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Untuk mendapat ridho, kasih sayang dan
kekuasaan Allah. Untuk mendapat pemeliharaan, perlindungan dan keselamatan dari
Allah. Atau dengan kata lain, untuk mendapat taqwa. Segala amalan itu untuk
menambah taqwa. Kerana Allah hanya menerima ibadah dari orang-orang yang
bertaqwa. Allah hanya membela, membantu dan melindungi orang-orang yang
bertaqwa. Hanya orang-orang yang bertaqwa saja yang akan selamat di sisi Allah
Ta’ala.
Dari berbagai makna yang
terkandung dalam taqwa, kedudukannya sangat penting dalam agama islam dan
kehidupan manusia karena taqwa adalah pokok dan ukuran dari segala pekerjaan
seorang muslim.
Taqwa tidak hanya
berhubungan dengan Allah swt, tetapi juga berhubungan dengan manusia dengan
dirinya sendiri, antar sesama manusia, dan dengan Lingkungan Hidup.
DAFTAR PUSTAKA
Azra. Azumardi, Dr.
Prof. Dkk, Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi
Umum: Jakarta. 2002
Cholid, M, Drs. M, M.Ag,
dkk. Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar