Kamis, 21 November 2013

1st PKN Kelompok 3 - Pancasila Dalam Konteks Ketatanegaraan Republik Indonesia


MAKALAH PENDIDIKAN PANCASILA 
( 1-IT-G1/G2 )

PANCASILA DALAM KONTEKS KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA





Dosen Pembimbing:
M. Taufik, S.Ag

Oleh:
-
Ade M
-
Alim F
-
Andisa NZ
-
Dimas S
-
Husein F
-
Jaenudin
-
Risha N
-
Yayat SH

PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA
STMIK IKMI CIREBON
2013


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME atas limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pancasila dalam Konteks Ketatanegaraan Republik Indonesia”  ini dengan lancar. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh dosen pengampu matakuliah Pancasila M. Taufik, S.Ag.
Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder yang penulis peroleh dari buku panduan yang berkaitan dengan Pancasila, serta infomasi dari media massa yang berhubungan dengan Pancasila dalam Konteks Ketatanegaraan Republik Indonesia, tak lupa penyusun ucapkan terima kasih kepada pengajar matakuliah Pancasila atas bimbingan dan arahan dalam penulisan makalah ini. Juga kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah mendukung sehingga dapat diselesaikannya makalah ini.
Penulis harap, dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua, dalam hal ini dapat menambah wawasan kita mengenai Pancasila dan ketatanegaraan Republik Indonesia, khususnya bagi penulis. Memang makalah ini masih jauh dari sempurna, maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.

Cirebon, Oktober 2013

Penulis








DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
……………………………………………
I
DAFTAR ISI
……………………………………………
II
BAB I      PENDAHULUAN
……………………………………………
1
1.1
Latar Belakang
……………………………………………
1
1.2
Perumusan Masalah
……………………………………………
1
1.3
Tujuan
……………………………………………
1
1.4
Manfaat
……………………………………………
2
1.5
Ruang Lingkup
……………………………………………
2
BAB II    METODE PENULISAN
……………………………………………
3
2.1
Objek Penulisan
……………………………………………
3
2.2
Dasar Pemilihan Objek
……………………………………………
3
2.3
Metode Pengumpulan Data
……………………………………………
3
2.4
Metode Analisis
……………………………………………
3
BAB III ANALISIS PERMASALAHAN
……………………………………………
4
3.1
Pancasila sebagai dasar dalam Konteks Ketatanegaraan
……………………………………………
4
3.2
Sistem Ketatanegaraan RI Berdasarkan Pancasila dan UUD 45
……………………………………………
8
3.3
Dinamika Pelaksanaan UUD 45
……………………………………………
17
BAB IV Penutup
……………………………………………
24
3.4
Kesimpulan
……………………………………………
24
3.5
Saran
……………………………………………
24
Daftar Pustaka
……………………………………………
25



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.       Latar Belakang
Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum. Sebagai Negara hukum, Indonesia memiliki dasar hukum tertulis yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Dalam UUD 1945 terdapat Pembukaan UUD 1945 yang mempunyai kedudukan di atas Undang-Undang Dasar-nya, walaupun Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar tertulis, namun bukan merupakan norma hukum tertinggi.  Segala aspek hukum telah tercantum dalam UUD 1945.
Dalam konteks inilah maka Pancasila murupakan suatu asas kerohanian negara, sehingga merupakan suatu sumber nilai, norma dan kaidah baik moral maupun   hukum dalam negara Republik Indonesia. Kedudukan Pancasila yang demikian ini justru mewujudkan fungsinya yang pokok sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang manifestasinya dijabarkan dalam suatu peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu  pancasila merupakan sumber dari segala hukum dasar negara baik yang tertulis yaitu Undang-Undang Dasar negara maupun hukum dasar tidak atau convensi. dimana segala aspek hukum yang berkaitan dengan Republik Indonesia telah tercantum dalam 5 silanya. Begitu juga dengan UUD 1945 yang terdiri dari 36 Pasal yang keseluruhan pasalnya mengacu pada pancasila. Oleh karena itu Pancasila disebut sebagai sumber dari segala sumber hukum.
Dalam kedudukan ini Pancasila berisi tentang nilai dan norma dalam setiap aspek penyelenggaraan negara, termasuk sebagai sumber tertib hukum dalam ketatanegaraan negara Republik Indonesia. Konsekuensinya seluruh peraturan perundang-undangan serta penjabarnya senantiasa berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila.
Pancasila dalam konteks ketatanegaraan Republik Indonesia artinya segala aspek ketatanegaraan Republik Indonesia yang diatur dalam UUD 1945 mengacu pada Pancasila. Hal ini perlu dibahas lebih lanjut untuk mengetahui hal-hal apa saja yang terkait dengan “Pancasila dalam Konteks Ketatanegaraan Republik Indonesia”.

1.2.       Perumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang tersebut, agar dalam penulisan ini penulis memperoleh hasil yang diinginkan, maka  penulis mengemukakan bebe-rapa rumusan masalah. Rumusan masalah itu adalah:
1.             Mengapa Pancasila digunakan sebagai dasar dalam konteks ketatanegaraan Republik Indonesia?
2.             Bagaimana gambaran sistem ketatanegaraan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945?
3.             Mengapa terjadi dinamika pelaksanaan Undang – Undang Dasar 1945?

1.3.       Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini antara lain:
1.             Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pancasila.
2.             Untuk menambah pengetahuan tentang Pancasila dari aspek ketatanegaraan Republik Indonesia.
3.             Untuk mengetahui bukti bahwa Pancasila adalah sumber dari segala hukum.
4.             Untuk mengetahui sistem ketatanegaraan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
5.             Untuk mengetahui terjadinya dinamika dalam pelaksanaan Undang – Undang Dasar 1945.

1.4.       Manfaat
Manfaat yang didapat dari makalah ini adalah:
1.             Mahasiswa dapat menambah pengetahuan tentang Pancasila dari ketatanegaraan Republik Indonesia.
2.             Mahasiswa dapat mengetahui bukti bahwa Pancasila adalah sumber dari segala hukum.
3.             Mahasiswa dapat mengetahui sistem ketatanegaraan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
4.             Mahasiswa dapat mengetahui terjadinya dinamika dalam pelaksanaan Undang – Undang Dasar 1945.

1.5.       Ruang Lingkup
Makalah ini membahas mengenai Pancasila dalam konteks ketatanegaraan Republik Indonesia. Serta membahas mengenai sistem ketatanegaraan RI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Berdasarkan beberapa masalah yang teridentifikasi tersebut, makalah ini difokuskan pada Pancasila dalam konteks ketatanegaraaan Republik Indonesia.










BAB II
METODE PENULISAN

2.1.       Objek Penulisan
Objek penulisan makalah ini adalah mengenai Pancasila dalam konteks ketatanegaraan Republik Indonesia. Dalam makalah ini dibahas mengenai peran Pancasila dalam ketatanegaraan RI, sistem ketatanegaraan RI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dan bagaimana dinamika pelaksanaan UUD 1945.

2.2.       Dasar Pemilihan Objek
Makalah ini membahas mengenai Pancasila dalam konteks ketatanegaraan Republik Indonesia. Sebagai dasar Negara, Pancasila merupakan suatu asas kerokhanian yang dalam ilmu kenegaraan popular disebut sebagai dasar Filsafat Negara (Philosofische Grondslag). Dalam kedudukan ini Pancasila merupakan sumber nilai dan sumber norma, kaidah baik moral dalam setiap aspek penyelenggaraan negara, termasuk sebagai sumber tertib hukum di negara Republik Indonesia. Maka dari itu masyarakat perlu mengetahui bahwa segala aspek pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara diatur dalam suatu sistem peraturan perundang – undangan. Dimana segala aspek hukum yg berkaitan dengan Republik Indonesia telah tercantum dalam 5 silanya.

2.3.       Metode Pengumpulan Data
Dalam pembuatan makalah ini, metode pengumpulan data yang digunakan adalah kaji pustaka terhadap bahan-bahan kepustakaan yang sesuai dengan permasalahan yang diangkat dalam makalah ini yaitu dengan tema wawasan kebangsaan. Sebagai referensi juga diperoleh dari situs web internet yang membahas mengenai Pancasila dalam konteks ketatanegaraan Republik Indonesia.

2.4.       Metode Analisis
Penyusunan makalah ini berdasarkan metode deskriptif analistis, yaitu mengidentifikasi permasalahan berdasarkan fakta dan data yang ada, menganalisis permasalahan berdasarkan pustaka dan data pendukung lainnya, serta mencari alternatif pemecahan masalah.


BAB III
ANALISIS PERMASALAHAN

3.1.       Pancasila Sebagai Dasar dalam Konteks Ketatanegaraan
A.           Kedudukan Pancasila Sebagai Sumber dari segala Hukum
Sebagai sumber dari segala hukum atau sebagai sumber tertib hukum Indonesia maka  Setiap produk hukum harus bersumber dan tidak boleh bertentangan dengan Pancasila. Pancasila tercantum dalam ketentuan tertinggi yaitu Pembukaan UUD 1945, kemudian dijelmakan atau dijabarkan lebih lanjut dalam pokok-pokok pikiran, yang meliputi suasana kebatinan dari UUD 1945, yang pada akhirnya dikongkritisasikan atau dijabarkan dari UUD 1945, serta hukum positif lainnya. Pancasila sebagai dasar filsafat negara, pandangan hidup bangsa serta idiologi bangsa dan negara, bukanlah hanya untuk sebuah rangkaian kata- kata yang indah namun semua itu harus kita wujudkan dan di aktualisasikan di dalam berbagai bidang dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pancasila sebagai dasar negara menunjukkan bahwa Pancasila itu sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber dari seluruh tertib hukum yang ada di Negara RI. Berarti semua sumber hukum atau peraturan-peraturan, mulai dari UUD`45, Tap MPR, Undang-Undang, Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang), PP (Peraturan Pemerintah), Keppres (Keputusan Presiden), dan seluruh peraturan pelaksanaan yang lainnya, harus berpijak pada Pancasila sebagai landasan hukumnya. Semua produk hukum harus sesuai dengan Pancasila dan tidak boleh bertentangan dengannya. Oleh sebab itu, bila Pancasila diubah, maka seluruh produk hukum yang ada di Negara RI sejak tahun 1945 sampai sekarang, secara otomatis produk hukum itu tidak berlaku lagi. Atau dengan kata lain, semua produk hukum sejak awal sampai akhir, semuanya, ‘Batal Demi Hukum’. Karena sumber dari segala sumber hukum yaitu Pancasila, telah dianulir. Oleh sebab itu Pancasila tidak bisa diubah dan tidak boleh diubah.
Nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi atau falsafah dan telah membudaya di dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Nilai-nilai itu tertanam dalam hati, tercermin dalam sikap dan perilaku serta kegiatan lembaga-lembaga masyarakat. Dengan perkataan lain, Pancasila telah menjadi cita-cita moral bangsa Indonesia, yang mengikat seluruh warga masyarakat baik sebagai perorangan maupun sebagai kesatuan bangsa (Poespowardojo dan Hardjatno, 2010).Namun demikian nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara harus diimplementasikan sebagai sumber dari semua sumber hukum dalam negara dan menjadi landasan bagi penyelenggaraan negara.
Nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara ditunjukkan pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yang secara nyata merupakan lima sila Pancasila.  Hal itu merupakan dasar negara yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dapat dianggap sebagai penjelmaan kehendak seluruh rakyat Indonesia yang merdeka.  Lebih spesifik lagi Pancasila sebagai sumber hukum dinyatakan dalam Ketetapan No.XX/MPRS/1966 juga Ketetapan MPR No.V/MPR/1973 dan Ketetapan MPR No.IX/MPR/1978 yang menegaskan kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber dari tertib hukum di Indonesia.
Lebih lanjut, Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara dinyatakan dalam pasal 2 Undang-Undang (UU) No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.  Pengertian pembentukan peraturan perundang- undangan adalah proses pembuatan peraturan perundang undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, penyebarluasan.  Rumusan UU tersebut selain memenuhi pertimbangan  dan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional, juga sekaligus menunjukkan  bahwa implementasi nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara telah memiliki landasan aturan formal.  Dalam pasal 7 dinyatakan ruang lingkup hirarki Peraturan Perundang-undangan meliputi (i) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (ii) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (iii) Peraturan Pemerintah; (iv) Peraturan Presiden; dan (v) Peraturan Daerah.
Upaya mengurai nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara memiliki cakupan yang luas sekaligus dinamis. Luas dalam arti mencakup seluruh aspek kehidupan sosial, ekonomi dan lingkungan. Dinamik mengandung arti memberi ruang reaksi terhadap perubahan lingkungan strategis. Dengan kata lain, upaya mengurai nilai-nilai Pancasila adalah hal yang tidak pernah selesai sejalan dengan perjalanan bangsa Indonesia mencapai tujuan nasional.  Keluasan dan kedinamikan tersebut dapat ditarik melalui pancaran nilai dari ke lima sila Pancasila.  Implementasi nilai-nilai tersebut ditunjukkan dengan perilaku dan kualitas SDM di dalam menjalankan kehidupan nasional menuju tercapainya tujuan negara.

B.            Pancasila Sebagai Dasar Negara Republik Indonesia
Pancasila yang dikukuhkan dalam sidang I dari BPPK pada tanggal 1 Juni 1945 adalah di kandung maksud untuk dijadikan dasar bagi negara Indonesia merdeka. Adapun dasar itu haruslah berupa suatu filsafat yang menyimpulkan kehidupan dan cita-cita bangsa dan negara Indonesa yang merdeka. Di atas dasar itulah akan didirikan gedung Republik Indonesia sebagai perwujudan kemerdekaan politik yang menuju kepada kemerdekaan ekonomi, sosial dan budaya.
Sidang BPPK telah menerima secara bulat Pancasila itu sebagai dasar negara Indonesia merdeka. Dalam keputusan sidang PPKI kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945 Pancasila tercantum secara resmi dalam Pembukaan UUD RI, Undang-Undang Dasar yang menjadi sumber ketatanegaraan harus mengandung unsur-unsur pokok yang kuat yang menjadi landasan hidup bagi seluruh bangsa dan negara, agar peraturan dasar itu tahan uji sepanjang masa.
Peraturan selanjutnya yang disusun untuk mengatasi dan menyalurkan persoalan-persoalan yang timbul sehubungan dengan penyelenggaraan dan perkembangan negara harus didasarkan atas dan berpedoman pada UUD. Peraturan-peraturan yang bersumber pada UUD itu disebut peraturan-peraturan organik yang menjadi pelaksanaan dari UUD.
Oleh karena Pancasila tercantum dalam UUD 1945 dan bahkan menjiwai seluruh isi peraturan dasar tersebut yang berfungsi sebagai dasar negara sebagaimana jelas tercantum dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 tersebut, maka semua peraturan perundang-undangan Republik Indonesia (Ketetapan MPR, Undang-undang, Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya) yang dikeluarkan oleh negara dan pemerintah Republik Indonesia haruslah pula sejiwa dan sejalan dengan Pancasila (dijiwai oleh dasar negara Pancasila). Isi dan tujuan dari peraturan perundang-undangan Republik Indonesia tidak boleh menyimpang dari jiwa Pancasila. Bahkan dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 ditegaskan, bahwa Pancasila itu adalah sumber dari segala sumber huum (sumber huum formal, undang-undang, kebiasaan, traktaat, jurisprudensi, hakim, ilmu pengetahuan hukum).
Di sinilah tampak titik persamaan dan tujuan antara jalan yang ditempuh oleh masyarakat dan penyusun peraturan-peraturan oleh negara dan pemerintah Indonesia.
Adalah suatu hal yang membanggakan bahwa Indonesia berdiri di atas fundamen yang kuat, dasar yang kokoh, yakni Pancasila dasar yang kuat itu bukanlah meniru suatu model yang didatangkan dari luar negeri.
Dasar negara kita berakar pada sifat-sifat dan cita-cita hidup bangsa Indonesia, Pancasila adalah penjelmaan dari kepribadian bangsa Indonesia, yang hidup di tanah air kita sejak dahulu hingga sekarang.
Pancasila mengandung unsur-unsur yang luhur yang tidak hanya memuaskan bangsa Indonesia sebagai dasar negara, tetapi juga dapat diterima oleh bangsa-bangsa lain sebagai dasar hidupnya. Pancasila bersifat universal dan akan mempengaruhi hidup dan kehidupan banga dan negara kesatuan Republik Indonesia secara kekal dan abadi.

3.2.       Sistem Ketatanegaraan RI Berdasarkan Pancasila Dan UUD 1945
Sistem Ketatanegaraan Negara Republik Indonesia terdapat dalam  Sistem Konstitusi (Hukum Dasar) Republik Indonesia, selain tersusun dalam hukum dasar yang tertulis yaitu UUD 1945, juga mengakui  hukum dasar yang tidak tertulis. Perlu diperhatikan bahwa kaidah-kaidah hukum ketatanegaraan tidak hanya terdapat pada hukum dasar. Kaidah-kaidah hukum ketatanegaraan terdapat juga pada berbagai peraturan ketatanegaraan lainnya seperti dalam Tap. MPR, UU, Perpu, dan sebagainya.
Hukum dasar tidak tertulis yang dimaksud dalam UUD 1945 adalah Konvensi atau kebiasaan ketatanegaraan dan bukan hukum adat (juga tidak tertulis), terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara.
Meminjam rumusan (dalam teori) mengenai Konvensi dari AV. Dicey : adalah ketentuan yang mengenai bagaimana seharusnya mahkota atau menteri melaksanakan “Discretionary Powers “.
Dicretionary Powers  adalah kekuasaan untuk bertindak atau tidak bertindak yang semata-mata didasarkan kebijaksanaan atau pertimbangan dari pemegang kekuasaan itu sendiri.
Hal diatas yang mula-mula mengemukakan yaitu Dicey dikalangan sarjana di Inggris pendapat tersebut dapat diterima, beliau memperinci konvensi ketatanegaraan merupakan hal-hal sebagai berikut :
Konvensi adalah bagian dari kaidah ketatanegaraan (konstitusi) yang tumbuh, diikuti dan ditaati dalam praktek penyelenggaraan negara. Konvensi sebagai   bagian dari konstitusi tidak dapat dipaksakan oleh (melalui) pengadilan.
Konvensi ditaati semata-mata didorong oleh tuntutan etika, akhlak atau politik dalam penyelenggaraan negara.
Konvensi adalah ketentuan-ketentuan mengenai bagaimana seharusnya (sebaliknya) discretionary powers dilaksanakan.
Menyinggung ketatanegaraan adalah tak terlepas dari organisasi negara, disini muncul pertanyaan yaitu : apakah negara itu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita pinjam “Teori Kekelompokan” yang dikemukakan oleh ; Prof. Mr. R. Kranenburg.
Adalah sebagai berikut : “Negara itu pada hakekatnya adalah suatu organisasi kekuasaan yang diciptakan oleh sekelompok manusia yang disebut bangsa dengan tujuan untuk menyelenggarakan kepentingan mereka bersama “
Maka disini yang primer adalah kelompok manusianya, sedangkan organisasinya, yaitu negara bersifat sekunder.
Tentang negara muncul adanya bentuk negara dan sistem pemerintahan, keberadaan bentuk negara menurut pengertian ilmu negara dibagi menjadi dua yaitu : Monarchie dan Republik.
Jika seorang kepala negara diangkat berdasarkan hak waris atau keturunan maka bentuk negara disebut Monarchie dan kepala negaranya disebut Raja atau Ratu. Jika kepala negara dipilih untuk masa jabatan yang ditentukan, bentuk negaranya disebut Republik dan kepala negaranya adalah Presiden.
Bentuk negara menurut UUD 1945 baik dalam Pembukaan dan Batang Tumbuh dapat diketahui pada pasal 1 ayat 1,  tidak menunjukkan adanya persamaan pengertian dalam  menggunakan istilah   bentuk  negara (lihat alinea ke 4); “……… maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, …dst.  Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik “.
Dalam sistem ketatanegaraan dapat diketahui melalui kebiasaan ketatanegaraan (convention), hal ini mengacu pengertian Konstitusi, Konstitusi mengandung dua hal yaitu : Konstitusi tertulis dan Konstitusi tidak tertulis, menyangkut konstitusi sekelumit disampaikan tentang sumber hukum melalui ilmu hukum yang membedakan dalam arti materiil dan sumber hukum dalam arti formal.
Sumber hukum dalam arti materiil adalah sumber hukum yang menentukan isi dan substansi hukum sedangkan sumber hukum dalam arti formal adalah hukum yang dikenal dari bentuknya, karena bentuknya itu menyebabkan hukum berlaku umum, contoh dari hukum formal adalah Undang-Undang dalam arti luas, hukum adat, hukum kebiasaan, dan lain-lain.
Konvensi atau hukum kebiasaan ketatanegaraan adalah hukum yang tumbuh dalam praktek penyelenggaraan negara, untuk melengkapi, menyempurnakan, menghidupkan mendinamisasi  kaidah-kaidah hukum perundang-undangan. Konvensi di Negara Republik Indonesia diakui merupakan salah satu  sumber hukum tata negara.
Pengertian Undang-Undang Dasar 1945 terdiri dari 2 kelompok yaitu : Pembukaan, Batang Tumbuh yang memuat pasal-pasal, dan terdiri 16 bab, 37 pasal, 3 pasal aturan peralihan dan aturan tambahan 2 pasal. Mengenai kedudukan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber hukum tertinggi, Pancasila merupakan segala sumber hukum.
Dilihat dari tata urutan peraturan perundang-undangan menurut TAP MPR No. III/MPR/ 2000, tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan peraturan perundang-undangan.

TAP MPR NO. XX/MPRS/1966      
Tata Urutannya sebagai berikut :
1.             UUD 1945
2.             TAP MPR
3.             UU / Peraturan  Pemerintah Pengganti UU
4.             Peraturan Pemerintah
5.             Keputusan Presiden
6.             Peraturan Pelaksanaan lainnya seperti:
- Peraturan Menteri
- Instruksi Menteri

TAP MPR NO. III/MPR/2000
Tata Urutannya sebagai berikut :
1.             UUD 1945
2.             TAP MPR RI
3.             Undang – Undang
4.             Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu)
5.             Peraturan Pemerintah
6.             Keputusan Presiden
7.             Peraturan Daerah

Sifat Undang-Undang Dasar 1945, singkat namun supel, namun harus ingat kepada dinamika kehidupan masyarakat dan Negara Indonesia, untuk itu perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a.              Pasalnya hanya 37 buah, hanya mengatur pokok-pokoknya saja, berisi instruksi kepada penyelenggara negara dan pimpinan pemerintah untuk menyelenggarakan pemerintahan negara dan mewujudkan kesejahteraan sosial.
b.             Aturan pelaksanaan diserahkan kepada tataran hukum yang lebih rendah yakni Undang-Undang, yang lebih mudah cara membuat, mengubah, dan mencabutnya.
c.              Yang penting adalah semangat para penyelenggara negara dan pemerintah dalam praktek pelaksanaan.
d.             Kenyataan bahwa UUD 1945 bersifat singkat namun supel seperti yang dinyatakan dalam  UUD 1945, secara kontekstual, aktual dan konsisten     dapat   dipergunakan untuk    menjelaskan      ungkapan “Pancasila merupakan ideologi terbuka” serta membuatnya operasional.
e.              Dapat kini ungkapan “Pancasila merupakan ideologi terbuka” dioperasionalkan setelah ideologi Pancasila dirinci dalam tataran nilai. Pasal-pasal yang mengandung nilai-nilai Pancasila (nilai dasar) yakni aturan pokok didalam UUD 1945 yang ada kaitannya dengan pokok-pokok pikiran atau ciri khas yang terdapat pada UUD 1945. Nilai instrumen Pancasila, yaitu aturan yang menyelenggarakan aturan pokok itu (TAP MPR, UU, PP, dsb).

Fungsi dari Undang-Undang Dasar merupakan suatu alat untuk menguji peraturan perundang-undangan dibawahnya apakah bertentangan dengan UUD disamping juga merupakan sebagai fungsi pengawasan.
Makna Pembukaan UUD 1945 merupakan sumber dari motivasi dan aspirasi perjuangan dan tekad bangsa Indonesia yang merupakan sumber dari cita hukum dan cita moral yang ingin ditegakkan baik dalam lingkungan nasional maupun dalam hubungan pergaulan bangsa-bangsa di dunia.
Pembukaan yang telah dirumuskan secara padat dan hikmat dalam 4 alinea itu, setiap alinea dan kata – katanya mengandung arti dan makna yang sangat mendalam, mempunyai nilai-nilai yang dijunjung oleh bangsa-bangsa beradab, kemudian didalam pembukaan tersebut dirumuskan menjadi 4 alinea.
Pokok – pokok pikiran alinea pertama berbunyi : “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan perikeadilan “.
Makna yang terkandung dalam alinea pertama ini ialah;
·                Adanya keteguhan dan kuatnya pendirian bangsa Indonesia membela kemerdekaan melawan penjajah.
·                Tekad bangsa Indonesia untuk merdeka dan tekad untuk tetap berdiri dibarisan yang paling depan untuk menentang dan menghapus penjajahan diatas dunia.
·                Pengungkapan suatu dalil obyektif, yaitu bahwa penjajahan tidak sesuai dengan perkemanusiaan dan perikeadilan; penjajah harus ditentang dan dihapuskan.
·                Menegaskan kepada bangsa/pemerintah Indonesia untuk senantiasa berjuang melawan setiap bentuk penjajahan dan mendukung kemerdekaan setiap bangsa.

Alinea kedua berbunyi : “Dan perjuangan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa menghantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur“.
Makna yang terkandung disini adalah ;
·                Bahwa kemerdekaan yang merupakan hak segala bangsa itu bagi bangsa Indonesia, dicapai dengan perjuangan pergerakkan bangsa Indonesia.
·                Bahwa perjuangan pergerakan tersebut telah sampai pada tingkat yang menentukan, sehingga momentum tersebut harus dimanfaatkan untuk menyatakan kemerdekaan.
·                Bahwa kemerdekaan bukan merupakan tujuan akhir tetapi masih harus diisi dengan mewujudkan Negara Indonesia yang bebas, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, yang tidak lain adalah merupakan cita-cita bangsa Indonesia (cita-cita nasional).

Alinea ke tiga berbunyi : “Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya“.
Hal ini mengandung makna adanya ;
·                Motivasi spiritual yang luhur bahwa kemerdekaan kita adalah berkat ridho Tuhan.
·                Keinginan yang didambakan oleh segenap bangsa Imdonesia terhadap suatu kehidupan didunia dan akhirat.
·                Pengukuhan dari proklamasi kemerdekaan.

Alinea ke-empat berbunyi : “Kemudian daripada itu untuk membentuk pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamian abadi, keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia“.
Alinea ke empat ini sekaligus mengandung;
1.             Fungsi sekaligus tujuan Negara Indonesia yaitu :
·               Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
·               Memajukan kesejahteraan umum
·               Mencerdaskan kehidupan bangsa dan
·               Ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial
2.             Susunan / bentuk Negara adalah Republik
3.             Sistem pemerintahan Negara adalah Kedaulatan Rakyat
4.             Dasar Negara adalah Pancasila, sebagaimana seperti dalam sila-sila yang terkandung didalamnya.

Dari uraian  diatas maka, sementara dapat disimpulkan bahwa sungguh tepat apa yang telah dirumuskan didalam Pembukaan UUD 1945 yaitu : Pancasila merupakan landasan ideal bagi terbentuknya masyarakat adil dan makmur material dan spiritual didalam Negara Republik Indonesia yang bersatu dan demokratif.
Sebelum menjelaskan mengenai sistem ketatanegaraan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 disampaikan terlebih dahulu mengenai struktur ketatanegaraan pada umumnya. Istilah struktur ketatanegaraan disini adalah terjemahan dari istilah Inggris “The Structure of Government “.
Pada umumnya struktur ketatanegaraan suatu negara meliputi dua suasana, yaitu :  supra struktur politik dan  infra struktur politik, yang dimaksud dengan supra struktur politik disini adalah segala sesuatu yang bersangkutan dengan apa yang disebut alat- alat perlengkapan negara termasuk segala hal yang berhubungan dengannya.
Hal-hal yang termasuk dalam supra struktur politik ini adalah mengenai kedudukan, kekuasaan dan wewenangnya, tugasnya, pembentukannya, serta hubungan antara alat-alat perlengkapan itu satu sama lain.

Adapun infra struktur politik meliputi lima macam komponen, yaitu :
·                komponen Partai Politik,
·                Komponen golongan kepentingan,
·                Komponen alat komunikasi politik,
·                Komponen golongan penekan,
·                Komponen tokoh politik.

Praktek ketatanegaraan Negara Republik Indonesia sebelum amandemen UUD 1945 dapat diuraikan mengenai pendapat-pendapat secara umum yang berpengaruh (dominan) berpendapat, UUD 1945 dan Pancasila  harus dilestarikan, upaya pelestarian ditempuh dengan cara antara lain tidak memperkenankan UUD 1945 diubah.
Secara hukum upaya tersebut diatur sebagai berikut :
1.             MPR menyatakan secara resmi tidak akan mengubah UUD 1945 seperti tercantum dalam TAP MPR No. I/MPR/1983, pasal 104 berbunyi sebagai berikut “Majelis berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945 tidak berkehendak dan tidak akan melakukan perubahan terhadap serta akan melaksanakannya secara murni dan konsekuen “.

2.             Diperkenalkannya “referendum” dalam sistem ketatanegaraan RI. Kehendak MPR untuk mengubah UUD 1945 harus terlebih dahulu disetujui dalam sebuah referendum sebelum kehendak itu menjelma menjadi perubahan UUD. Referendum secara formal mengatur tentang tata cara perubahan UUD 1945 secara nyata, lembaga ini justru bertujuan untuk mempersempit kemungkinan mengubah UUD 1945 hal ini dapat diketahui pada bunyi konsideran TAP MPR No. IV/MPR/1983 huruf e yang berbunyi : “Bahwa dalam rangka makin menumbuhkan kehidupan demokrasi Pancasila dan keinginan untuk meninjau ketentuan pengangkatan 1/3 jumlah anggota MPR perlu ditemukan jalan konstitusional agar pasal 37 UUD 1945 tidak mudah digunakan untuk merubah UUD 1945“.

Kata “melestarikan” dan “mempertahankan” UUD 1945 secara formal adalah dengan tidak mengubah kaidah-kaidah yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945 diakui bahwa UUD 1945 seperti yang terdapat didalam penjelasan adalah sebagai berikut :
“Memang sifat aturan  itu mengikat oleh karena itu makin “supel” (elastic) sifatnya aturan itu makin baik. Jadi kita harus menjaga supaya sistem UUD jangan sampai ketinggalan jaman “.
Dari uraian diatas dapat diketahui adanya dua prinsip yang berbeda yaitu : yang pertama berkeinginan mempertahankan, sedangkan prinsip yang kedua menyatakan UUD jangan sampai ketinggalan jaman, yang artinya adanya “perubahan”, mengikuti perkembangan jaman dalam hal ini perlu dicari jalan keluar untuk memperjelas atau kepastian hukum dalam ketatanegaraan.
Jalan keluar salah satu diantaranya bentuk ketentuan yang mengatur cara melaksanakan UUD 1945 adalah konvensi. Konvensi merupakan   “condition sine quanon” (keadaan sesungguhnya) untuk melaksanakan UUD 1945. Untuk melestarikan atau mempertahankan UUD 1945 yaitu agar UUD 1945 mampu menyesuaikan dengan perkembangan jaman sedangkan larangan mengubah UUD 1945 dapat dilihat sebagai aspek statis (mandeg) dari upaya mempertahankan atau melestarikan UUD 1945.
Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat. Konvensi merupakan salah satu sarana untuk menjamin pelaksanaan kedaulatan rakyat.
Didalam memperjelas mengenai ketatanegaraan di Indonesia pada UUD 1945 sebelum amandemen dapat dilihat pada bagan lampiran tersendiri. Dan setelah UUD 1945 dilakukan amandemen yang pertama disahkan pada tanggal 19 Oktober 1999, kedua pada tanggal 18 Agustus 2000, ketiga pada tanggal 9 November 2001 dan keempat pada tanggal 10 Agustus 2002 dari perubahan atau amandemen UUD 1945 tampak terlihat adanya perubahan struktur ketatanegaraan RI yang selanjutnya didalam struktur setelah amandemen adanya lembaga baru yaitu Mahkamah Konstitusi dalam hal ini diatur kedalam UUD 1945 yang diamandemen pasal 7B ayat 1-5 yang intinya adalah menyangkut jabatan Presiden dan Wakil Presiden, dan apablia melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, dll harus diajukan terlebih dahulu ke Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR kepada penyalahgunaan Presiden/Wakil Presiden. Dalam hal ini DPR mengajukannya masalahnya ke Mahkamah Konstitusi selanjutnya diserahkan kepada MPR untuk diambil langkah-langkah selanjutnya dalam sidang istimewa.
Hubungan negara dan warga negara serta HAM menurut UUD 1945 dilihat dari sejarah bangsa Indonesia tentang kewarganegaraan pada Undang-Undang Dasar 1945 sebagai mana pasal 26 ayat  1  menentukan bahwa;
“Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang-Undang sebagai warga negara”,
sedangkan ayat 2 menyebutkan bahwa; “Syarat-syarat mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan Undang- Undang”.
Mengacu pada pembahasan oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, masalah hak asasi manusia Indonesia menjadi perdebatan sengit, ada yang mengusulkan agar hak asasi manusia dimasukkan kedalam ide tetapi ada juga yang menolaknya.
Pada akhirnya antara pro dan kontra tentang hak asasi manusia dimasukkan dalam UUD dilengkapi suatu kesepakatan yaitu masuk kedalam pasal-pasal : 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, dan 34. Yang dimaksud kewajiban asasi adalah kewajiban setiap pribadi untuk berbuat agar eksistensi negara atau masyarakat dapat dipertahankan, sebaliknya negara memiliki kemampuan menjamin hak asasi warga negaranya. Mengenai hak asasi manusia merupakan hak yang melekat pada diri manusia itu sejak lahir terlihat dari uraian diatas mengenai hubungan antar negara dan warga negara masing-masing memiliki hak dan kewajiban.


3.3.       DINAMIKA PELAKSANAAN UUD 1945
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk pada tanggal 29 April 1945, adalah Badan yang menyusun rancangan UUD 1945. Pada masa sidang pertama yang berlangsung dari tanggal 28 Mei sampai dengan tanggal 1 Juni 1945 Ir.Sukarno menyampaikan gagasan tentang "Dasar Negara" yang diberi nama Pancasila. Kemudian BPUPKI membentuk Panitia Kecil yang terdiri dari 8 orang untuk menyempurnakan rumusan Dasar Negara. Pada tanggal 22 Juni 1945, 38 anggota BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang terdiri dari 9 orang untuk merancang Piagam Jakarta yang akan menjadi naskah Pembukaan UUD 1945. Setelah dihilangkannya anak kalimat "dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya" maka naskah Piagam Jakarta menjadi naskah Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pengesahan UUD 1945 dikukuhkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bersidang pada tanggal 29 Agustus 1945. Naskah rancangan UUD 1945 Indonesia disusun pada masa Sidang Kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Nama Badan ini tanpa kata "Indonesia" karena hanya diperuntukkan untuk tanah Jawa saja. Di Sumatera ada BPUPK untuk Sumatera. Masa Sidang Kedua tanggal 10-17 Juli 1945. Tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengesahkan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.

A.           Undang-Undang Dasar 1945 (awal kemerdekaan)
Undang-Undang Dasar ini disahkan pada sidang PPKI sehari setelah Indonesia merdeka yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945.Undag-Undang Dasar ini terdiri atas Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh yang mencakup 37 Pasal 4 Aturan Peralihan atau Peraturan Tambahanserta penjelasan yang dibuat oleh Prof. Mr.Soepomo (Sunoto, 1985: 35).
Pada awal kemerdekaan UUD 1945 tidak dilaksanakan dengan baik karena kondisi Indonesia dalam suasana mempertahankan kemerdekaan. Sedang mengenai keadaan pemerintahnya sebagai berikut:
                Pasal 4 Aturan Peralihan UUD 1945berlaku yaitu sebelum MPR, DPR dan DPA dibantu oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
                Sistem kabinetnya, Kabinet Presidensil dimana para menteri bertanggung jawab pada presiden bukan pada DPR.
                Dikeluarkannya Maklumat No. X pada tanggal 16 Oktober 1945, yang merubah kedudukan KNIP yang tadinya sebagai pembantu Presiden menjadi badan legislatif(DPR)
                Dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945 yang merubah kabinet presidensil menjadi parlementer, ini berarti menyimpang dari UUD 1945.sistem kabinet ini diikuti dengan Demokrasi Liberal.
Akibat dari kondisi diatas menimbulkan, pemerintah tidak stabil seiring pergantian kabinet, Terjadinya pemberontakaan PKI Madiun, karena keadaan genting maka kabinet kembali ke presidensil lagi, diadakannya Konferensi Meja Bundar (KMB) sehingga Indonesia harus menerima berdirinya Republik Indonesia Serikat (RIS).

B.            Konstitusi RIS
Hasil dari KMB pada 27 Desember 1945 mengharuskan pada Indonesia untuk menerima berdirinya negara RIS. Secara otomatis UUD yang digunakan pun berganti, dan yang digunakan adalah Konstitusi RIS.
Pada masa ini seluruh wilayah Indonesia tunduk pada Konstitusi RIS. Sedangkan UUD 1945 hanya berlaku un tuk negara bagian Indonesia yang meliputi sebagian jawa dan sumatra dengan ibukota Yogyakarta. Sistem pemerintahannya adalah Parlementer yang berdasarkan Demokrasi Liberal.
Negara Federasi RIS tidak berlangsung lama.berkat kesadaran para pemimpin kita maka pada tanggal 17 Agustus 1950 RIS kembali lagi menjadi NKRI dengan Undang-Undang yang lain yang disebut Undang-Undang Dasar Sementara 1950.

C.           Undang-Undang Dasar Sementara
Mulai tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia kembali lagi menjadi NKRI dengan Undang-Undang Dasar Sementara atau disebut juga UUD 1950. Sistem pemerintahan yang digunakan adalah parlementer dan presiden tidak bisa diganggu gugat dan menteri bertanggung jawab. Berlaku demokrasi liberal dan telah berhasil melaksanakan pemilu dan membentuk badan konstituante.
Karena kabinet yang dgunakan adalah parlementer maka presiden dan wakil presiden adalah presiden konstitusional yang tidak bisa diganggu gugat. Yang bertanggung jawab adalah menteri kepada parlemen. Akibat dari sistem pemeritah ini maka pemerintahan tidak stabil, sebab sering terjadi pergantian kabinet, ekonomi dan keamanan sangat kacau, badan konstitusituante macet tidak dapat melaksanakan tugasnya untuk membuat Undang-Undang Dasar yang tetap sebagai ganti UUDS 1950. Pada waktu itu beruntung rakyat indonesia mempunyai rasa persatuan dan kesatuan yang tinggi, terbukti dengan banyaknya negara bagian RIS yang melebur kembali pada negara Republik Indonesia.
Kenyataan ini yang membuat RIS dan Republik Indonesia untuk mengadakan perundingan dan menghasilkan kesepakatan untuk membuat negara kesatuan.

D.           Undang-Undang Dasar 1945 (yang berlaku berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959)
Melihat situasi yang semakin memburuk dan dukungan rakyat Indonesia maka dikeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1950 yang berisi tentang kembalinya UUD 1945. Dasar hukum dekrit ini adalah Hukum Darurat Negara (Staatsnoodretcht). Adapun isi dari dekrit tersebut adalah
                Menetapkan pembubaran Kostituante
                Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia, terhitung mulai dari tanggal menetapkan dekrit ini, dan tidak berlaku lagi UUD 1950.
Pembentukkan MPRS yang terdiri dari anggota-anggota DPR ditambah dengan perwakilan-perwakilan dari daerah dan golongan-golongan, serta DPAS akan dilaksanakan dalam waktu yang sesingkat singkatnya. . Dengan dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka berlaku kembali UUD 1945. Dengan demikian rumusan dan sistematika Pancasila tetap seperti yang tercantum dalam ‘Pembukaan UUD 1945 alinea ke empat’.
Untuk mewujudkan pemerintahan Negara berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila dibentuklah alat-alat perlengkapan Negara:
                Presiden dan Menteri-Menteri
                Dewn Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR)
                Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS)
                Dewan Pertimbangan Agung Sementara
Walaupun sudah ada dekrit tersebut tetapi pada kenyataannya UUD 1945 masih belum dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Pelaksanaan UUD 1945 periode ini semenjak Dekrit 5 Juli 1959 dinyatakan kembali kepada UUD 1945, tetapi dalam praktek ketatanegaraan hingga tahun 1966 ternyata belum pernah melaksanakan jiwa dan ketentuan UUD 1945, terjadi beberapa penyimpangan, antara lain:
                Pelaksanaan Demokrasi Terpempin, diman Presiden membentuk MPRS dan DPAS dengan Penpres Nomor 2 tahun 955 yang bertentangan dengan system pemerintahan Presidentil sebagaimana dalam UUD 1945;
                Penentuan masa jabatan presiden seumur hidup, hal ini bertentangan dengan pasal UUD yang menyebutkan bahwa masa jabatan Presiden adalah 5 tahun dan setelahnya dapat dipilih kembali.
                Berdirinya Partai Komunis Indonesia yang berhaluan atheisme, dan adanya kudeta PKI dengan gerakan 30 September yang secra nyata akan membentuk Negara Komunis Indonesia
                Bidang Idiologi
                Dibolehkannya komunis yang sangat jelas bertentangan dengan sila pertama. Paham ini berawal dari pemahaman pancasila sebagai ajaran Bung Karno, pancasila dipersempit menjadi Tri sula dan akhirnya menjadi Eka sila (gotong Royong).
                Bidang Hukum
                Hukum yang digunakan sebenarnya hukum Revolusi, UUD hanya digunakan alat revolusi diatas segala galanya sehingga menjadikan pemerintahan yang otoriter, dan diktator
                Bidang Moral
                Terjadinya krisis dan dekadensi moral.
                Bidang Ekonomi
                Keadaan ekonomi merosot, terjadi inflasi, banyak korupsi
                Bidang sosial dan politik
Masyarakat dibagi bagi menjadi dalam kotak-kotak parpol dan ormas dengan porosnya nasakom.
Pada puncaknya antara tanggal 30 September 1965-11 Maret 1966, dengan dipelopori para pemuda dan mahasiswa menya mpaikan tiga tuntutan rakyat(TRITURA) yang berisi”bubarkan PKI, Bersihkan kabinet dari unsur-unsur PKI, Turunkan harga. Gerakan tritura ini semakin meningkatt sehingga pemerintah tak lagi mampu menanganinya. Dalam situasi yang demikian maka pada tanggal 11 Maret 1966. presiden soekarno melayangkan surat perintah kepada soeharto yang sering kita kenal dengan sebutan SUPERSEMAR.

E.            UUD 1945 Pada Masa Orde Baru
Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan akan menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Namun pelaksanaannya ternyata menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 yang murni,terutama pelanggaran pasal 23 (hutang Konglomerat/private debt dijadikan beban rakyat Indonesia/public debt) dan 33 UUD 1945 yang memberi kekuasaan pada pihak swasta untuk menghancur hutan dan sumberalam kita.
Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat "sakral", diantara melalui sejumlah peraturan:
                Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya
                Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus minta pendapat rakyat melalui referendum.
                Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan TAP MPR Nomor IV/MPR/1983.

F.            UUD 1945 Pada Masa Reformasi
Salah satu keberhasilan yang dicapai oleh bangsa Indonesia pada masa reformasi adalah reformasi konstitusional (constitutional reform). Reformasi konstitusi dipandang merupakan kebutuhan dan agenda yang harus dilakukan karena UUD 1945 sebelum perubahan dinilai tidak cukup untuk mengatur dan mengarahkan penyelenggaraan negara sesuai harapan rakyat, terbentuknya good governance, serta mendukung penegakan demokrasi dan hak asasi manusia.
Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu "luwes" (sehingga dapat menimbulkan multitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan presidensiil.
Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen) yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
                Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999 → Perubahan Pertama UUD 1945
                Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000 → Perubahan Kedua UUD 1945
                Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001 → Perubahan Ketiga UUD 1945
                Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002 → Perubahan Keempat UUD 1945
Mewujudkan amanat reformasi perlu adanya pembenahandan penataan kembali terhadap system ketatanegaraan dan pemerintahan Negara.Masalah utama Negara hukum Indonesia adalah UUD 1945 yang bersifat otorian, maka agenda utam pemerintahan pasca Soeharto adalah reformasi konstitusi. Akhirnya, lahirlah beberapa amandemen terhadap UUD 1945. Hasil amandemen konstitusi mempertegas deklarasi Negara hukum, dari semula hanya ada di dalam penjelasan, menjadi bagian batang tubuh UUD 1945. Konsep pemisahan kekuasaan Negara ditegaskan. MPR tidak lagi mempunyai kekuasaan yang tak terbatas. Presiden tidak lagi membentuk undang-undang, tetapi hanya berhak mengajukan dan membahas RUU. Kekuasaan diserahkan kembali kepada yang berhak, yakni DPR.
Akuntabilitas politik melalui proses rekrutmen anggota parlemen dan Presiden secara langsung, diperkuat lagi dengan system pemberhentian mereka jika melakukan tindakan-tindakan yang melanggar hukum dan konstitusi.
Kekuasaan kehakiman yang mandiri diangkat dari penjelasan menjadi materi Batang Tubuh UUD 1945. Lebih jauh, mahkamah konstitusi dibentuk untuk mengawal kemurnian fungsi dan manfaat konstitusi, karena salah satu kewenangan MK adalah melakukan constitutional review, menguji keabsahan aturan undang-undang bila dihadapkan kepada aturan konstitusi.
Satu hal yang perlu dicatat, bahwa amandemen UUD 1945 ini hanya dilakukan terhadap batabg tubuh UUD 1945 [pasal-pasal] tetapi tidak dilakukan terhadap pembukaan UUD 1945. Terdapat asumsi bahwa melakukan perubahan terhadap pembuukaan UUD 1945 pada dasarnya akan mengubah Negara Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1946. Karena pembukaan UUD 1945 hakikatnya adalah jiwa dan ruh Negara proklamasi, sementara dasar Negara Republik Indonesia, yakni Pancasila juga terdapat dalam Pembukaan UUD 1945. Maka sistematika dan rumusan Pancasila tidak mengalami perubahan.





BAB IV
PENUTUP

3.4.        Kesimpulan
1.             Pancasila adalah suatu objek yang merupakan sasaran pembahasan dan pengkajian Pancasila, baik yang bersifat empiris maupun nonempiris.
2.             Sebagai dasar negara, Pancasila merupakan suatu asas kerokhanian yang dalam ilmu kenegaraan popular disebut sebagai dasar filsafat negara (Philosofische Gronslag).
3.             Kedudukan Pancasila dalam pembukaan UUD 1945 adalah sebagai sumber dari segala sumber hukum Indonesia.
4.             Kedudukan Pembukaan UUD 1945 memiliki 2 aspek yang sangat fundamental, yaitu :
4.1.       Memberikan faktor-faktor mutlak bagi terwujudnya tertib hukum Indonesia dan
4.2.       Memasukkan diri dalam tertib hukum Indonesia sebagai tertib hukum tertinggi.
5.             Negara Indonesia adalah negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum, oleh karena itu segala aspek dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara diatur dalam suatu system peraturan perundang-undangan.
3.5.       Saran
Kita sebagai bangsa Indonesia, harus mampu mencermati nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagai masyarakat madani, yaitu masyarakat yang tidak buta akan posisi dasar negara, hendaknya kita bisa mengaplikasikan semua aspek-aspek yang terkandung dalam Pancasila kedalam kehidupan sehari-hari.



DAFTAR PUSTAKA

          http://tulang-rusukku.blogspot.com/2012/04/dinamika-pelaksanaan-uud-1945.html
          http://diary-mybustanoel.blogspot.com/2012/02/makalah-pancasila-dalam-konteks.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar