MAKALAH PENDIDIKAN PANCASILA
( 1-IT-G1/G2 )
PANCASILA DALAM KONTEKS KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA
Dosen Pembimbing:
M. Taufik, S.Ag
Oleh:
-
|
Ade M
|
-
|
Alim F
|
-
|
Andisa NZ
|
-
|
Dimas S
|
-
|
Husein F
|
-
|
Jaenudin
|
-
|
Risha N
|
-
|
Yayat SH
|
PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA
STMIK IKMI CIREBON
2013
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Pancasila dalam Konteks Ketatanegaraan
Republik Indonesia” ini dengan lancar. Penulisan makalah ini
bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh dosen pengampu
matakuliah Pancasila M. Taufik, S.Ag.
Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder
yang penulis peroleh dari buku panduan yang berkaitan dengan Pancasila, serta
infomasi dari media massa yang berhubungan dengan Pancasila dalam Konteks
Ketatanegaraan Republik Indonesia, tak lupa penyusun ucapkan terima kasih
kepada pengajar matakuliah Pancasila atas bimbingan dan arahan dalam penulisan
makalah ini. Juga kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah mendukung sehingga
dapat diselesaikannya makalah ini.
Penulis harap, dengan membaca makalah ini dapat memberi
manfaat bagi kita semua, dalam hal ini dapat menambah wawasan kita mengenai
Pancasila dan ketatanegaraan Republik Indonesia, khususnya bagi penulis. Memang
makalah ini masih jauh dari sempurna, maka penulis mengharapkan kritik dan
saran dari pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.
Cirebon,
Oktober 2013
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR
|
……………………………………………
|
I
|
|
DAFTAR ISI
|
……………………………………………
|
II
|
|
BAB I PENDAHULUAN
|
……………………………………………
|
1
|
|
1.1
|
Latar Belakang
|
……………………………………………
|
1
|
1.2
|
Perumusan Masalah
|
……………………………………………
|
1
|
1.3
|
Tujuan
|
……………………………………………
|
1
|
1.4
|
Manfaat
|
……………………………………………
|
2
|
1.5
|
Ruang
Lingkup
|
……………………………………………
|
2
|
BAB II METODE
PENULISAN
|
……………………………………………
|
3
|
|
2.1
|
Objek
Penulisan
|
……………………………………………
|
3
|
2.2
|
Dasar
Pemilihan Objek
|
……………………………………………
|
3
|
2.3
|
Metode
Pengumpulan Data
|
……………………………………………
|
3
|
2.4
|
Metode
Analisis
|
……………………………………………
|
3
|
BAB III ANALISIS PERMASALAHAN
|
……………………………………………
|
4
|
|
3.1
|
Pancasila
sebagai dasar dalam Konteks Ketatanegaraan
|
……………………………………………
|
4
|
3.2
|
Sistem
Ketatanegaraan RI Berdasarkan Pancasila dan UUD 45
|
……………………………………………
|
8
|
3.3
|
Dinamika Pelaksanaan UUD 45
|
……………………………………………
|
17
|
BAB IV Penutup
|
……………………………………………
|
24
|
|
3.4
|
Kesimpulan
|
……………………………………………
|
24
|
3.5
|
Saran
|
……………………………………………
|
24
|
Daftar Pustaka
|
……………………………………………
|
25
|
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum. Sebagai
Negara hukum, Indonesia memiliki dasar hukum tertulis yaitu Undang-Undang Dasar
1945. Dalam UUD 1945 terdapat Pembukaan UUD 1945 yang mempunyai kedudukan di
atas Undang-Undang Dasar-nya, walaupun Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum
dasar tertulis, namun bukan merupakan norma hukum tertinggi. Segala
aspek hukum telah tercantum dalam UUD 1945.
Dalam konteks
inilah maka Pancasila murupakan suatu asas kerohanian negara, sehingga
merupakan suatu sumber nilai, norma dan kaidah baik moral
maupun hukum dalam negara Republik Indonesia. Kedudukan Pancasila
yang demikian ini justru mewujudkan fungsinya yang pokok sebagai dasar negara
Republik Indonesia, yang manifestasinya dijabarkan dalam suatu peraturan
perundang-undangan. Oleh karena itu pancasila merupakan sumber dari
segala hukum dasar negara baik yang tertulis yaitu Undang-Undang Dasar negara
maupun hukum dasar tidak atau convensi. dimana
segala aspek hukum yang berkaitan dengan Republik Indonesia telah tercantum
dalam 5 silanya. Begitu juga dengan UUD 1945 yang terdiri dari 36 Pasal yang
keseluruhan pasalnya mengacu pada pancasila. Oleh karena itu Pancasila disebut
sebagai sumber dari segala sumber hukum.
Dalam kedudukan
ini Pancasila berisi tentang nilai dan norma dalam setiap
aspek penyelenggaraan negara, termasuk sebagai sumber tertib hukum dalam ketatanegaraan negara Republik Indonesia.
Konsekuensinya seluruh peraturan perundang-undangan serta penjabarnya
senantiasa berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila.
Pancasila dalam konteks ketatanegaraan Republik Indonesia
artinya segala aspek ketatanegaraan Republik Indonesia yang diatur dalam UUD
1945 mengacu pada Pancasila. Hal ini perlu dibahas lebih lanjut untuk
mengetahui hal-hal apa saja yang terkait dengan “Pancasila dalam Konteks
Ketatanegaraan Republik Indonesia”.
1.2.
Perumusan
Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang tersebut, agar dalam
penulisan ini penulis memperoleh hasil yang diinginkan, maka penulis
mengemukakan bebe-rapa rumusan masalah. Rumusan masalah itu adalah:
1.
Mengapa Pancasila digunakan sebagai dasar dalam konteks ketatanegaraan
Republik Indonesia?
2.
Bagaimana gambaran sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang
Dasar 1945?
3.
Mengapa terjadi dinamika pelaksanaan
Undang – Undang Dasar 1945?
1.3.
Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini antara lain:
1.
Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah
Pancasila.
2.
Untuk menambah pengetahuan tentang
Pancasila dari aspek ketatanegaraan Republik Indonesia.
3.
Untuk mengetahui bukti bahwa
Pancasila adalah sumber dari segala hukum.
4.
Untuk mengetahui sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
5.
Untuk mengetahui terjadinya dinamika
dalam pelaksanaan Undang – Undang Dasar 1945.
1.4.
Manfaat
Manfaat yang didapat dari makalah ini adalah:
1.
Mahasiswa dapat menambah pengetahuan
tentang Pancasila dari ketatanegaraan Republik Indonesia.
2.
Mahasiswa dapat mengetahui bukti
bahwa Pancasila adalah sumber dari segala hukum.
3.
Mahasiswa dapat mengetahui sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
4.
Mahasiswa dapat mengetahui terjadinya
dinamika dalam pelaksanaan Undang – Undang Dasar 1945.
1.5.
Ruang
Lingkup
Makalah ini membahas mengenai Pancasila dalam konteks
ketatanegaraan Republik Indonesia. Serta membahas mengenai sistem
ketatanegaraan RI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Berdasarkan beberapa
masalah yang teridentifikasi tersebut, makalah ini difokuskan pada Pancasila
dalam konteks ketatanegaraaan Republik Indonesia.
BAB
II
METODE
PENULISAN
2.1.
Objek
Penulisan
Objek penulisan makalah ini adalah mengenai Pancasila dalam
konteks ketatanegaraan Republik Indonesia. Dalam makalah ini dibahas mengenai
peran Pancasila dalam ketatanegaraan RI, sistem ketatanegaraan RI berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945, dan bagaimana dinamika pelaksanaan UUD 1945.
2.2.
Dasar
Pemilihan Objek
Makalah ini membahas mengenai Pancasila dalam konteks
ketatanegaraan Republik Indonesia. Sebagai
dasar Negara, Pancasila merupakan suatu asas kerokhanian yang dalam ilmu
kenegaraan popular disebut sebagai dasar Filsafat Negara (Philosofische
Grondslag). Dalam kedudukan ini Pancasila merupakan sumber nilai dan sumber
norma, kaidah baik moral dalam setiap aspek penyelenggaraan negara, termasuk
sebagai sumber tertib hukum di negara Republik Indonesia. Maka dari itu masyarakat
perlu mengetahui bahwa segala aspek pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara
diatur dalam suatu sistem peraturan perundang – undangan. Dimana segala aspek
hukum yg berkaitan dengan Republik Indonesia telah tercantum dalam 5 silanya.
2.3.
Metode
Pengumpulan Data
Dalam pembuatan makalah ini, metode pengumpulan data yang
digunakan adalah kaji pustaka terhadap bahan-bahan kepustakaan yang sesuai
dengan permasalahan yang diangkat dalam makalah ini yaitu dengan tema wawasan
kebangsaan. Sebagai referensi juga diperoleh dari situs web internet yang
membahas mengenai Pancasila dalam konteks ketatanegaraan Republik Indonesia.
2.4.
Metode
Analisis
Penyusunan makalah ini berdasarkan metode deskriptif
analistis, yaitu mengidentifikasi permasalahan berdasarkan fakta dan data yang
ada, menganalisis permasalahan berdasarkan pustaka dan data pendukung lainnya,
serta mencari alternatif pemecahan masalah.
BAB
III
ANALISIS
PERMASALAHAN
3.1.
Pancasila
Sebagai Dasar dalam Konteks Ketatanegaraan
A.
Kedudukan
Pancasila Sebagai Sumber dari segala Hukum
Sebagai sumber dari segala hukum atau sebagai sumber tertib hukum
Indonesia maka Setiap produk hukum harus
bersumber dan tidak boleh bertentangan dengan Pancasila. Pancasila tercantum
dalam ketentuan tertinggi yaitu Pembukaan UUD 1945, kemudian dijelmakan atau
dijabarkan lebih lanjut dalam pokok-pokok pikiran, yang meliputi suasana
kebatinan dari UUD 1945, yang pada akhirnya dikongkritisasikan atau dijabarkan dari UUD 1945, serta hukum
positif lainnya. Pancasila sebagai dasar filsafat negara, pandangan hidup
bangsa serta idiologi bangsa dan negara, bukanlah hanya untuk sebuah rangkaian
kata- kata yang indah namun semua itu harus kita wujudkan dan di aktualisasikan
di dalam berbagai bidang dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Pancasila sebagai dasar negara menunjukkan bahwa Pancasila itu sebagai
sumber dari segala sumber hukum atau sumber dari seluruh tertib hukum yang ada
di Negara RI. Berarti semua sumber hukum atau peraturan-peraturan, mulai dari
UUD`45, Tap MPR, Undang-Undang, Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang), PP (Peraturan Pemerintah), Keppres (Keputusan Presiden), dan
seluruh peraturan pelaksanaan yang lainnya, harus berpijak pada Pancasila
sebagai landasan hukumnya. Semua produk hukum harus sesuai dengan Pancasila dan
tidak boleh bertentangan dengannya. Oleh sebab itu, bila Pancasila diubah, maka
seluruh produk hukum yang ada di Negara RI sejak tahun 1945 sampai sekarang,
secara otomatis produk hukum itu tidak berlaku lagi. Atau dengan kata lain,
semua produk hukum sejak awal sampai akhir, semuanya, ‘Batal Demi Hukum’.
Karena sumber dari segala sumber hukum yaitu Pancasila, telah dianulir. Oleh
sebab itu Pancasila tidak bisa diubah dan tidak boleh diubah.
Nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi atau falsafah dan telah membudaya
di dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Nilai-nilai itu tertanam dalam
hati, tercermin dalam sikap dan perilaku serta kegiatan lembaga-lembaga
masyarakat. Dengan perkataan lain, Pancasila telah menjadi cita-cita moral
bangsa Indonesia, yang mengikat seluruh warga masyarakat baik sebagai
perorangan maupun sebagai kesatuan bangsa (Poespowardojo dan Hardjatno,
2010).Namun demikian nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara harus
diimplementasikan sebagai sumber dari semua sumber hukum dalam negara dan
menjadi landasan bagi penyelenggaraan negara.
Nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara ditunjukkan pada alinea
keempat Pembukaan UUD 1945, yang secara nyata merupakan lima sila
Pancasila. Hal itu merupakan dasar
negara yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dapat dianggap sebagai penjelmaan kehendak
seluruh rakyat Indonesia yang merdeka.
Lebih spesifik lagi Pancasila sebagai sumber hukum dinyatakan dalam
Ketetapan No.XX/MPRS/1966 juga Ketetapan MPR No.V/MPR/1973 dan Ketetapan MPR
No.IX/MPR/1978 yang menegaskan kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala
sumber hukum atau sumber dari tertib hukum di Indonesia.
Lebih lanjut, Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara
dinyatakan dalam pasal 2 Undang-Undang (UU) No. 10 Tahun 2004 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pengertian pembentukan peraturan perundang- undangan adalah proses
pembuatan peraturan perundang undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan,
persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan,
penyebarluasan. Rumusan UU tersebut
selain memenuhi pertimbangan dan salah
satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional, juga sekaligus
menunjukkan bahwa implementasi
nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara telah memiliki landasan aturan
formal. Dalam pasal 7 dinyatakan ruang
lingkup hirarki Peraturan Perundang-undangan meliputi (i) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (ii) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang; (iii) Peraturan Pemerintah; (iv) Peraturan Presiden;
dan (v) Peraturan Daerah.
Upaya mengurai nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara memiliki
cakupan yang luas sekaligus dinamis. Luas dalam arti mencakup seluruh aspek
kehidupan sosial, ekonomi dan lingkungan. Dinamik mengandung arti memberi ruang
reaksi terhadap perubahan lingkungan strategis. Dengan kata lain, upaya
mengurai nilai-nilai Pancasila adalah hal yang tidak pernah selesai sejalan
dengan perjalanan bangsa Indonesia mencapai tujuan nasional. Keluasan dan kedinamikan tersebut dapat
ditarik melalui pancaran nilai dari ke lima sila Pancasila. Implementasi nilai-nilai tersebut ditunjukkan
dengan perilaku dan kualitas SDM di dalam menjalankan kehidupan nasional menuju
tercapainya tujuan negara.
B.
Pancasila
Sebagai Dasar Negara Republik Indonesia
Pancasila
yang dikukuhkan dalam sidang I dari BPPK pada tanggal 1 Juni 1945 adalah di
kandung maksud untuk dijadikan dasar bagi negara Indonesia merdeka. Adapun
dasar itu haruslah berupa suatu filsafat yang menyimpulkan kehidupan dan
cita-cita bangsa dan negara Indonesa yang merdeka. Di atas dasar itulah akan
didirikan gedung Republik Indonesia sebagai perwujudan kemerdekaan politik yang
menuju kepada kemerdekaan ekonomi, sosial dan budaya.
Sidang
BPPK telah menerima secara bulat Pancasila itu sebagai dasar negara Indonesia
merdeka. Dalam keputusan sidang PPKI kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945 Pancasila tercantum secara resmi
dalam Pembukaan UUD RI, Undang-Undang Dasar yang menjadi sumber ketatanegaraan
harus mengandung unsur-unsur pokok yang kuat yang menjadi landasan hidup bagi
seluruh bangsa dan negara, agar peraturan dasar itu tahan uji sepanjang masa.
Peraturan
selanjutnya yang disusun untuk mengatasi dan menyalurkan persoalan-persoalan
yang timbul sehubungan dengan penyelenggaraan dan perkembangan negara harus
didasarkan atas dan berpedoman pada UUD. Peraturan-peraturan yang bersumber pada UUD itu disebut
peraturan-peraturan organik yang menjadi pelaksanaan dari UUD.
Oleh
karena Pancasila tercantum dalam UUD 1945 dan bahkan menjiwai seluruh isi
peraturan dasar tersebut yang berfungsi sebagai dasar negara sebagaimana jelas
tercantum dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 tersebut, maka semua peraturan
perundang-undangan Republik Indonesia (Ketetapan MPR, Undang-undang, Peraturan
Pemerintah sebagai pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan
Presiden dan peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya) yang dikeluarkan oleh
negara dan pemerintah Republik Indonesia haruslah pula sejiwa dan sejalan
dengan Pancasila (dijiwai oleh dasar negara Pancasila). Isi dan tujuan dari
peraturan perundang-undangan Republik Indonesia tidak boleh menyimpang dari
jiwa Pancasila. Bahkan dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 ditegaskan, bahwa
Pancasila itu adalah sumber dari segala sumber huum (sumber huum formal,
undang-undang, kebiasaan, traktaat, jurisprudensi, hakim, ilmu pengetahuan
hukum).
Di sinilah
tampak titik persamaan dan tujuan antara jalan yang ditempuh oleh masyarakat dan penyusun
peraturan-peraturan oleh negara dan pemerintah Indonesia.
Adalah
suatu hal yang membanggakan bahwa Indonesia berdiri di atas fundamen yang kuat,
dasar yang kokoh, yakni Pancasila dasar yang kuat itu bukanlah meniru suatu model yang didatangkan
dari luar negeri.
Dasar
negara kita berakar pada sifat-sifat dan cita-cita hidup bangsa Indonesia, Pancasila adalah penjelmaan dari
kepribadian bangsa Indonesia, yang hidup di tanah air kita sejak dahulu hingga
sekarang.
Pancasila
mengandung unsur-unsur yang luhur yang tidak hanya memuaskan bangsa Indonesia sebagai dasar negara,
tetapi juga dapat diterima oleh bangsa-bangsa lain sebagai dasar hidupnya.
Pancasila bersifat universal dan akan mempengaruhi hidup dan kehidupan banga
dan negara kesatuan Republik Indonesia secara kekal dan abadi.
3.2.
Sistem Ketatanegaraan RI Berdasarkan Pancasila Dan UUD 1945
Sistem Ketatanegaraan Negara Republik Indonesia terdapat
dalam Sistem Konstitusi (Hukum Dasar)
Republik Indonesia, selain tersusun dalam hukum dasar yang tertulis yaitu UUD
1945, juga mengakui hukum dasar yang
tidak tertulis. Perlu diperhatikan bahwa kaidah-kaidah hukum ketatanegaraan tidak hanya terdapat pada hukum dasar.
Kaidah-kaidah hukum ketatanegaraan terdapat juga pada berbagai peraturan
ketatanegaraan lainnya seperti dalam Tap. MPR, UU, Perpu, dan sebagainya.
Hukum dasar tidak tertulis yang dimaksud dalam UUD 1945
adalah Konvensi atau kebiasaan ketatanegaraan dan bukan hukum adat (juga tidak
tertulis), terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara.
Meminjam rumusan (dalam teori) mengenai Konvensi dari AV.
Dicey : adalah ketentuan yang mengenai bagaimana seharusnya mahkota atau
menteri melaksanakan “Discretionary Powers “.
Dicretionary Powers
adalah kekuasaan untuk bertindak atau tidak bertindak yang semata-mata
didasarkan kebijaksanaan atau pertimbangan dari pemegang kekuasaan itu sendiri.
Hal diatas yang mula-mula mengemukakan yaitu Dicey
dikalangan sarjana di Inggris pendapat tersebut dapat diterima, beliau
memperinci konvensi ketatanegaraan merupakan hal-hal sebagai berikut :
Konvensi adalah bagian dari kaidah ketatanegaraan
(konstitusi) yang tumbuh, diikuti dan ditaati dalam praktek penyelenggaraan
negara. Konvensi sebagai bagian dari
konstitusi tidak dapat dipaksakan oleh (melalui) pengadilan.
Konvensi ditaati semata-mata didorong oleh tuntutan etika,
akhlak atau politik dalam penyelenggaraan negara.
Konvensi adalah ketentuan-ketentuan mengenai bagaimana
seharusnya (sebaliknya) discretionary powers dilaksanakan.
Menyinggung ketatanegaraan adalah tak terlepas dari
organisasi negara, disini muncul pertanyaan yaitu : apakah negara itu? Untuk menjawab
pertanyaan tersebut kita pinjam “Teori Kekelompokan” yang dikemukakan oleh ;
Prof. Mr. R. Kranenburg.
Adalah sebagai berikut : “Negara itu pada hakekatnya adalah
suatu organisasi kekuasaan yang diciptakan oleh sekelompok manusia yang disebut
bangsa dengan tujuan untuk menyelenggarakan kepentingan mereka bersama “
Maka disini yang primer adalah kelompok manusianya,
sedangkan organisasinya, yaitu negara bersifat sekunder.
Tentang negara muncul adanya bentuk negara dan sistem
pemerintahan, keberadaan bentuk negara menurut pengertian ilmu negara dibagi
menjadi dua yaitu : Monarchie dan Republik.
Jika seorang kepala negara diangkat berdasarkan hak waris
atau keturunan maka bentuk negara disebut Monarchie dan kepala negaranya
disebut Raja atau Ratu. Jika kepala negara dipilih untuk masa jabatan yang
ditentukan, bentuk negaranya disebut Republik dan kepala negaranya adalah
Presiden.
Bentuk negara menurut UUD 1945 baik dalam Pembukaan dan
Batang Tumbuh dapat diketahui pada pasal 1 ayat 1, tidak menunjukkan adanya persamaan pengertian
dalam menggunakan istilah bentuk
negara (lihat alinea ke 4); “……… maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan
Indonesia dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, …dst. Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang
berbentuk Republik “.
Dalam sistem ketatanegaraan dapat diketahui melalui
kebiasaan ketatanegaraan (convention), hal ini mengacu pengertian Konstitusi,
Konstitusi mengandung dua hal yaitu : Konstitusi tertulis dan Konstitusi tidak
tertulis, menyangkut konstitusi sekelumit disampaikan tentang sumber hukum
melalui ilmu hukum yang membedakan dalam arti materiil dan sumber hukum dalam
arti formal.
Sumber hukum dalam arti materiil adalah sumber hukum yang
menentukan isi dan substansi hukum sedangkan sumber hukum dalam arti formal
adalah hukum yang dikenal dari bentuknya, karena bentuknya itu menyebabkan
hukum berlaku umum, contoh dari hukum formal adalah Undang-Undang dalam arti
luas, hukum adat, hukum kebiasaan, dan lain-lain.
Konvensi atau hukum kebiasaan ketatanegaraan adalah hukum
yang tumbuh dalam praktek penyelenggaraan negara, untuk melengkapi,
menyempurnakan, menghidupkan mendinamisasi
kaidah-kaidah hukum perundang-undangan. Konvensi di Negara Republik
Indonesia diakui merupakan salah satu
sumber hukum tata negara.
Pengertian Undang-Undang Dasar 1945 terdiri dari 2 kelompok
yaitu : Pembukaan, Batang Tumbuh yang memuat pasal-pasal, dan terdiri 16 bab,
37 pasal, 3 pasal aturan peralihan dan aturan tambahan 2 pasal. Mengenai
kedudukan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber hukum tertinggi, Pancasila
merupakan segala sumber hukum.
Dilihat dari tata urutan peraturan perundang-undangan
menurut TAP MPR No. III/MPR/ 2000, tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan
peraturan perundang-undangan.
TAP
MPR NO. XX/MPRS/1966
Tata
Urutannya sebagai berikut :
1.
UUD
1945
2.
TAP
MPR
3.
UU
/ Peraturan Pemerintah Pengganti UU
4.
Peraturan
Pemerintah
5.
Keputusan
Presiden
6.
Peraturan
Pelaksanaan lainnya seperti:
- Peraturan Menteri
- Instruksi Menteri
TAP
MPR NO. III/MPR/2000
Tata
Urutannya sebagai berikut :
1.
UUD
1945
2.
TAP
MPR RI
3.
Undang
– Undang
4.
Peraturan
Pemerintah Pengganti UU (Perpu)
5.
Peraturan
Pemerintah
6.
Keputusan
Presiden
7.
Peraturan
Daerah
Sifat Undang-Undang Dasar 1945, singkat namun supel, namun
harus ingat kepada dinamika kehidupan masyarakat dan Negara Indonesia, untuk
itu perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a.
Pasalnya
hanya 37 buah, hanya mengatur pokok-pokoknya saja, berisi instruksi kepada
penyelenggara negara dan pimpinan pemerintah untuk menyelenggarakan
pemerintahan negara dan mewujudkan kesejahteraan sosial.
b.
Aturan
pelaksanaan diserahkan kepada tataran hukum yang lebih rendah yakni
Undang-Undang, yang lebih mudah cara membuat, mengubah, dan mencabutnya.
c.
Yang
penting adalah semangat para penyelenggara negara dan pemerintah dalam praktek
pelaksanaan.
d.
Kenyataan
bahwa UUD 1945 bersifat singkat namun supel seperti yang dinyatakan dalam UUD 1945, secara kontekstual, aktual dan
konsisten dapat dipergunakan untuk menjelaskan ungkapan “Pancasila merupakan ideologi
terbuka” serta membuatnya operasional.
e.
Dapat
kini ungkapan “Pancasila merupakan ideologi terbuka” dioperasionalkan setelah
ideologi Pancasila dirinci dalam tataran nilai. Pasal-pasal yang mengandung nilai-nilai
Pancasila (nilai dasar) yakni aturan pokok didalam UUD 1945 yang ada kaitannya
dengan pokok-pokok pikiran atau ciri khas yang terdapat pada UUD 1945. Nilai
instrumen Pancasila, yaitu aturan yang menyelenggarakan aturan pokok itu (TAP
MPR, UU, PP, dsb).
Fungsi dari Undang-Undang Dasar merupakan suatu alat untuk
menguji peraturan perundang-undangan dibawahnya apakah bertentangan dengan UUD
disamping juga merupakan sebagai fungsi pengawasan.
Makna Pembukaan UUD 1945 merupakan sumber dari motivasi dan
aspirasi perjuangan dan tekad bangsa Indonesia yang merupakan sumber dari cita
hukum dan cita moral yang ingin ditegakkan baik dalam lingkungan nasional
maupun dalam hubungan pergaulan bangsa-bangsa di dunia.
Pembukaan yang telah dirumuskan secara padat dan hikmat
dalam 4 alinea itu, setiap alinea dan kata – katanya mengandung arti dan makna
yang sangat mendalam, mempunyai nilai-nilai yang dijunjung oleh bangsa-bangsa
beradab, kemudian didalam pembukaan tersebut dirumuskan menjadi 4 alinea.
Pokok – pokok pikiran alinea pertama berbunyi : “Bahwa
sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka
penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan perikeadilan “.
Makna yang terkandung dalam alinea pertama ini ialah;
·
Adanya
keteguhan dan kuatnya pendirian bangsa Indonesia membela kemerdekaan melawan
penjajah.
·
Tekad
bangsa Indonesia untuk merdeka dan tekad untuk tetap berdiri dibarisan yang
paling depan untuk menentang dan menghapus penjajahan diatas dunia.
·
Pengungkapan
suatu dalil obyektif, yaitu bahwa penjajahan tidak sesuai dengan perkemanusiaan
dan perikeadilan; penjajah harus ditentang dan dihapuskan.
·
Menegaskan
kepada bangsa/pemerintah Indonesia untuk senantiasa berjuang melawan setiap
bentuk penjajahan dan mendukung kemerdekaan setiap bangsa.
Alinea kedua berbunyi : “Dan perjuangan kemerdekaan
Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa
menghantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia,
yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur“.
Makna yang terkandung disini adalah ;
·
Bahwa
kemerdekaan yang merupakan hak segala bangsa itu bagi bangsa Indonesia, dicapai
dengan perjuangan pergerakkan bangsa Indonesia.
·
Bahwa
perjuangan pergerakan tersebut telah sampai pada tingkat yang menentukan,
sehingga momentum tersebut harus dimanfaatkan untuk menyatakan kemerdekaan.
·
Bahwa
kemerdekaan bukan merupakan tujuan akhir tetapi masih harus diisi dengan
mewujudkan Negara Indonesia yang bebas, bersatu, berdaulat, adil dan makmur,
yang tidak lain adalah merupakan cita-cita bangsa Indonesia (cita-cita
nasional).
Alinea ke tiga berbunyi : “Atas berkat Rahmat Allah Yang
Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan
kebangsaan yang bebas maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya“.
Hal ini mengandung makna adanya ;
·
Motivasi
spiritual yang luhur bahwa kemerdekaan kita adalah berkat ridho Tuhan.
·
Keinginan
yang didambakan oleh segenap bangsa Imdonesia terhadap suatu kehidupan didunia
dan akhirat.
·
Pengukuhan
dari proklamasi kemerdekaan.
Alinea ke-empat berbunyi : “Kemudian daripada itu untuk
membentuk pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamian abadi, keadilan sosial, maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang – Undang Dasar Negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat berdasar kepada : Ketuhanan Yang
Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia“.
Alinea ke empat ini sekaligus mengandung;
1.
Fungsi
sekaligus tujuan Negara Indonesia yaitu :
·
Melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
·
Memajukan
kesejahteraan umum
·
Mencerdaskan
kehidupan bangsa dan
·
Ikut
serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial
2.
Susunan
/ bentuk Negara adalah Republik
3.
Sistem
pemerintahan Negara adalah Kedaulatan Rakyat
4.
Dasar
Negara adalah Pancasila, sebagaimana seperti dalam sila-sila yang terkandung
didalamnya.
Dari uraian diatas
maka, sementara dapat disimpulkan bahwa sungguh tepat apa yang telah dirumuskan
didalam Pembukaan UUD 1945 yaitu : Pancasila merupakan landasan ideal bagi
terbentuknya masyarakat adil dan makmur material dan spiritual didalam Negara
Republik Indonesia yang bersatu dan demokratif.
Sebelum menjelaskan mengenai sistem ketatanegaraan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 disampaikan terlebih dahulu
mengenai struktur ketatanegaraan pada umumnya. Istilah struktur ketatanegaraan
disini adalah terjemahan dari istilah Inggris “The Structure of Government “.
Pada umumnya struktur ketatanegaraan suatu negara meliputi
dua suasana, yaitu : supra struktur
politik dan infra struktur politik, yang
dimaksud dengan supra struktur politik disini adalah segala sesuatu yang
bersangkutan dengan apa yang disebut alat- alat perlengkapan negara termasuk
segala hal yang berhubungan dengannya.
Hal-hal yang termasuk dalam supra struktur politik ini
adalah mengenai kedudukan, kekuasaan dan wewenangnya, tugasnya, pembentukannya,
serta hubungan antara alat-alat perlengkapan itu satu sama lain.
Adapun infra struktur politik meliputi lima macam komponen,
yaitu :
·
komponen
Partai Politik,
·
Komponen
golongan kepentingan,
·
Komponen
alat komunikasi politik,
·
Komponen
golongan penekan,
·
Komponen
tokoh politik.
Praktek ketatanegaraan Negara Republik Indonesia sebelum
amandemen UUD 1945 dapat diuraikan mengenai pendapat-pendapat secara umum yang
berpengaruh (dominan) berpendapat, UUD 1945 dan Pancasila harus dilestarikan, upaya pelestarian
ditempuh dengan cara antara lain tidak memperkenankan UUD 1945 diubah.
Secara hukum upaya tersebut diatur sebagai berikut :
1.
MPR
menyatakan secara resmi tidak akan mengubah UUD 1945 seperti tercantum dalam
TAP MPR No. I/MPR/1983, pasal 104 berbunyi sebagai berikut “Majelis
berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945 tidak berkehendak dan tidak akan
melakukan perubahan terhadap serta akan melaksanakannya secara murni dan
konsekuen “.
2.
Diperkenalkannya
“referendum” dalam sistem ketatanegaraan RI. Kehendak MPR untuk mengubah UUD
1945 harus terlebih dahulu disetujui dalam sebuah referendum sebelum kehendak
itu menjelma menjadi perubahan UUD. Referendum secara formal mengatur tentang
tata cara perubahan UUD 1945 secara nyata, lembaga ini justru bertujuan untuk
mempersempit kemungkinan mengubah UUD 1945 hal ini dapat diketahui pada bunyi
konsideran TAP MPR No. IV/MPR/1983 huruf e yang berbunyi : “Bahwa dalam rangka
makin menumbuhkan kehidupan demokrasi Pancasila dan keinginan untuk meninjau
ketentuan pengangkatan 1/3 jumlah anggota MPR perlu ditemukan jalan
konstitusional agar pasal 37 UUD 1945 tidak mudah digunakan untuk merubah UUD
1945“.
Kata “melestarikan” dan “mempertahankan” UUD 1945 secara
formal adalah dengan tidak mengubah kaidah-kaidah yang tertulis dalam pembukaan
UUD 1945 diakui bahwa UUD 1945 seperti yang terdapat didalam penjelasan adalah
sebagai berikut :
“Memang sifat aturan
itu mengikat oleh karena itu makin “supel” (elastic) sifatnya aturan itu
makin baik. Jadi kita harus menjaga supaya sistem UUD jangan sampai ketinggalan
jaman “.
Dari uraian diatas dapat diketahui adanya dua prinsip yang
berbeda yaitu : yang pertama berkeinginan mempertahankan, sedangkan prinsip
yang kedua menyatakan UUD jangan sampai ketinggalan jaman, yang artinya adanya
“perubahan”, mengikuti perkembangan jaman dalam hal ini perlu dicari jalan
keluar untuk memperjelas atau kepastian hukum dalam ketatanegaraan.
Jalan keluar salah satu diantaranya bentuk ketentuan yang
mengatur cara melaksanakan UUD 1945 adalah konvensi. Konvensi merupakan “condition sine quanon” (keadaan
sesungguhnya) untuk melaksanakan UUD 1945. Untuk melestarikan atau mempertahankan
UUD 1945 yaitu agar UUD 1945 mampu menyesuaikan dengan perkembangan jaman
sedangkan larangan mengubah UUD 1945 dapat dilihat sebagai aspek statis
(mandeg) dari upaya mempertahankan atau melestarikan UUD 1945.
Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat.
Konvensi merupakan salah satu sarana untuk menjamin pelaksanaan kedaulatan
rakyat.
Didalam memperjelas mengenai ketatanegaraan di Indonesia
pada UUD 1945 sebelum amandemen dapat dilihat pada bagan lampiran tersendiri.
Dan setelah UUD 1945 dilakukan amandemen yang pertama disahkan pada tanggal 19
Oktober 1999, kedua pada tanggal 18 Agustus 2000, ketiga pada tanggal 9
November 2001 dan keempat pada tanggal 10 Agustus 2002 dari perubahan atau
amandemen UUD 1945 tampak terlihat adanya perubahan struktur ketatanegaraan RI
yang selanjutnya didalam struktur setelah amandemen adanya lembaga baru yaitu
Mahkamah Konstitusi dalam hal ini diatur kedalam UUD 1945 yang diamandemen
pasal 7B ayat 1-5 yang intinya adalah menyangkut jabatan Presiden dan Wakil
Presiden, dan apablia melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, dll harus diajukan terlebih dahulu ke Mahkamah
Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan seadil-adilnya terhadap
pendapat DPR kepada penyalahgunaan Presiden/Wakil Presiden. Dalam hal ini DPR
mengajukannya masalahnya ke Mahkamah Konstitusi selanjutnya diserahkan kepada
MPR untuk diambil langkah-langkah selanjutnya dalam sidang istimewa.
Hubungan negara dan warga negara serta HAM menurut UUD 1945
dilihat dari sejarah bangsa Indonesia tentang kewarganegaraan pada
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai mana pasal 26 ayat 1
menentukan bahwa;
“Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa
Indonesia asli dan orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang-Undang sebagai
warga negara”,
sedangkan ayat 2 menyebutkan bahwa; “Syarat-syarat mengenai
kewarganegaraan ditetapkan dengan Undang- Undang”.
Mengacu pada pembahasan oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia, masalah hak asasi manusia Indonesia menjadi
perdebatan sengit, ada yang mengusulkan agar hak asasi manusia dimasukkan
kedalam ide tetapi ada juga yang menolaknya.
Pada akhirnya antara pro dan kontra tentang hak asasi
manusia dimasukkan dalam UUD dilengkapi suatu kesepakatan yaitu masuk kedalam
pasal-pasal : 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, dan 34. Yang dimaksud kewajiban asasi
adalah kewajiban setiap pribadi untuk berbuat agar eksistensi negara atau
masyarakat dapat dipertahankan, sebaliknya negara memiliki kemampuan menjamin
hak asasi warga negaranya. Mengenai hak asasi manusia merupakan hak yang
melekat pada diri manusia itu sejak lahir terlihat dari uraian diatas mengenai
hubungan antar negara dan warga negara masing-masing memiliki hak dan
kewajiban.
3.3.
DINAMIKA PELAKSANAAN UUD 1945
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) yang dibentuk pada tanggal 29 April 1945, adalah Badan yang menyusun
rancangan UUD 1945. Pada masa sidang pertama yang berlangsung dari tanggal 28
Mei sampai dengan tanggal 1 Juni 1945 Ir.Sukarno menyampaikan gagasan tentang
"Dasar Negara" yang diberi nama Pancasila. Kemudian BPUPKI membentuk
Panitia Kecil yang terdiri dari 8 orang untuk menyempurnakan rumusan Dasar
Negara. Pada tanggal 22 Juni 1945, 38 anggota BPUPKI membentuk Panitia Sembilan
yang terdiri dari 9 orang untuk merancang Piagam Jakarta yang akan menjadi
naskah Pembukaan UUD 1945. Setelah dihilangkannya anak kalimat "dengan
kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya" maka naskah
Piagam Jakarta menjadi naskah Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18
Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pengesahan
UUD 1945 dikukuhkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bersidang
pada tanggal 29 Agustus 1945. Naskah rancangan UUD 1945 Indonesia disusun pada
masa Sidang Kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Nama
Badan ini tanpa kata "Indonesia" karena hanya diperuntukkan untuk
tanah Jawa saja. Di Sumatera ada BPUPK untuk Sumatera. Masa Sidang Kedua
tanggal 10-17 Juli 1945. Tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengesahkan UUD 1945
sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
A.
Undang-Undang Dasar 1945 (awal kemerdekaan)
Undang-Undang
Dasar ini disahkan pada sidang PPKI sehari setelah Indonesia merdeka yaitu pada
tanggal 18 Agustus 1945.Undag-Undang Dasar ini terdiri atas Pembukaan UUD 1945,
Batang Tubuh yang mencakup 37
Pasal 4 Aturan Peralihan atau Peraturan Tambahanserta penjelasan yang dibuat
oleh Prof. Mr.Soepomo (Sunoto, 1985: 35).
Pada awal
kemerdekaan UUD 1945 tidak dilaksanakan dengan baik karena kondisi Indonesia
dalam suasana mempertahankan
kemerdekaan. Sedang mengenai keadaan pemerintahnya sebagai berikut:
•
Pasal
4 Aturan Peralihan UUD 1945berlaku yaitu sebelum MPR, DPR dan DPA dibantu oleh
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
•
Sistem
kabinetnya, Kabinet Presidensil dimana para menteri bertanggung jawab pada
presiden bukan pada DPR.
•
Dikeluarkannya
Maklumat No. X pada tanggal 16 Oktober 1945, yang merubah kedudukan KNIP yang
tadinya sebagai pembantu Presiden menjadi badan legislatif(DPR)
•
Dikeluarkannya
Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945 yang merubah kabinet presidensil
menjadi parlementer, ini berarti menyimpang dari UUD 1945.sistem kabinet ini
diikuti dengan Demokrasi Liberal.
Akibat
dari kondisi diatas menimbulkan, pemerintah tidak stabil seiring pergantian
kabinet, Terjadinya pemberontakaan PKI Madiun, karena keadaan genting maka
kabinet kembali ke presidensil lagi, diadakannya Konferensi Meja Bundar (KMB)
sehingga Indonesia harus menerima berdirinya Republik Indonesia Serikat (RIS).
B.
Konstitusi RIS
Hasil dari
KMB pada 27 Desember 1945 mengharuskan pada Indonesia untuk menerima berdirinya
negara RIS. Secara otomatis UUD yang digunakan pun berganti, dan yang digunakan
adalah Konstitusi RIS.
Pada masa
ini seluruh wilayah Indonesia tunduk pada Konstitusi RIS. Sedangkan UUD 1945
hanya berlaku un tuk negara bagian Indonesia yang meliputi sebagian jawa dan
sumatra dengan ibukota Yogyakarta. Sistem pemerintahannya adalah Parlementer
yang berdasarkan Demokrasi Liberal.
Negara
Federasi RIS tidak berlangsung lama.berkat kesadaran para pemimpin kita maka
pada tanggal 17 Agustus 1950 RIS kembali lagi menjadi NKRI dengan Undang-Undang
yang lain yang disebut Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
C.
Undang-Undang Dasar Sementara
Mulai
tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia kembali lagi menjadi NKRI dengan
Undang-Undang Dasar Sementara atau disebut juga UUD 1950. Sistem pemerintahan
yang digunakan adalah parlementer dan presiden tidak bisa diganggu gugat dan
menteri bertanggung jawab. Berlaku demokrasi liberal dan telah berhasil
melaksanakan pemilu dan membentuk badan konstituante.
Karena
kabinet yang dgunakan adalah parlementer maka presiden dan wakil presiden
adalah presiden konstitusional yang tidak bisa diganggu gugat. Yang bertanggung
jawab adalah menteri kepada parlemen. Akibat dari sistem pemeritah ini maka
pemerintahan tidak stabil, sebab sering terjadi pergantian kabinet, ekonomi dan
keamanan sangat kacau, badan konstitusituante macet tidak dapat melaksanakan
tugasnya untuk membuat Undang-Undang Dasar yang tetap sebagai ganti UUDS 1950.
Pada waktu itu beruntung rakyat indonesia mempunyai rasa persatuan dan kesatuan
yang tinggi, terbukti dengan banyaknya negara bagian RIS yang melebur kembali
pada negara Republik Indonesia.
Kenyataan
ini yang membuat RIS dan Republik Indonesia untuk mengadakan perundingan dan
menghasilkan kesepakatan untuk membuat negara kesatuan.
D.
Undang-Undang Dasar 1945 (yang berlaku berdasarkan Dekrit
Presiden 5 Juli 1959)
Melihat
situasi yang semakin memburuk dan dukungan rakyat Indonesia maka dikeluarkan
Dekrit Presiden 5 Juli 1950 yang berisi tentang kembalinya UUD 1945. Dasar
hukum dekrit ini adalah Hukum Darurat Negara (Staatsnoodretcht). Adapun isi
dari dekrit tersebut adalah
•
Menetapkan
pembubaran Kostituante
•
Menetapkan
Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia, terhitung
mulai dari tanggal menetapkan dekrit ini, dan tidak berlaku lagi UUD 1950.
Pembentukkan
MPRS yang terdiri dari anggota-anggota DPR ditambah dengan
perwakilan-perwakilan dari daerah dan golongan-golongan, serta DPAS akan
dilaksanakan dalam waktu yang sesingkat singkatnya. . Dengan dekrit Presiden 5
Juli 1959, maka berlaku kembali UUD 1945. Dengan demikian rumusan dan
sistematika Pancasila tetap seperti yang tercantum dalam ‘Pembukaan UUD 1945
alinea ke empat’.
Untuk
mewujudkan pemerintahan Negara berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila dibentuklah
alat-alat perlengkapan Negara:
•
Presiden
dan Menteri-Menteri
•
Dewn
Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR)
•
Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS)
•
Dewan
Pertimbangan Agung Sementara
Walaupun
sudah ada dekrit tersebut tetapi pada kenyataannya UUD 1945 masih belum
dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Pelaksanaan UUD 1945 periode ini
semenjak Dekrit 5 Juli 1959 dinyatakan kembali kepada UUD 1945, tetapi dalam
praktek ketatanegaraan hingga tahun 1966 ternyata belum pernah melaksanakan
jiwa dan ketentuan UUD 1945, terjadi beberapa penyimpangan, antara lain:
•
Pelaksanaan
Demokrasi Terpempin, diman Presiden membentuk MPRS dan DPAS dengan Penpres Nomor
2 tahun 955 yang bertentangan dengan system pemerintahan Presidentil
sebagaimana dalam UUD 1945;
•
Penentuan
masa jabatan presiden seumur hidup, hal ini bertentangan dengan pasal UUD yang
menyebutkan bahwa masa jabatan Presiden adalah 5 tahun dan setelahnya dapat
dipilih kembali.
•
Berdirinya
Partai Komunis Indonesia yang berhaluan atheisme, dan adanya kudeta PKI dengan
gerakan 30 September yang secra nyata akan membentuk Negara Komunis Indonesia
•
Bidang
Idiologi
•
Dibolehkannya
komunis yang sangat jelas bertentangan dengan sila pertama. Paham ini berawal
dari pemahaman pancasila sebagai ajaran Bung Karno, pancasila dipersempit
menjadi Tri sula dan akhirnya menjadi Eka sila (gotong Royong).
•
Bidang
Hukum
•
Hukum
yang digunakan sebenarnya hukum Revolusi, UUD hanya digunakan alat revolusi
diatas segala galanya sehingga menjadikan pemerintahan yang otoriter, dan
diktator
•
Bidang
Moral
•
Terjadinya
krisis dan dekadensi moral.
•
Bidang
Ekonomi
•
Keadaan
ekonomi merosot, terjadi inflasi, banyak korupsi
•
Bidang
sosial dan politik
Masyarakat
dibagi bagi menjadi dalam kotak-kotak parpol dan ormas dengan porosnya nasakom.
Pada
puncaknya antara tanggal 30 September 1965-11 Maret 1966, dengan dipelopori
para pemuda dan mahasiswa menya mpaikan tiga tuntutan rakyat(TRITURA) yang
berisi”bubarkan PKI, Bersihkan kabinet dari unsur-unsur PKI, Turunkan harga.
Gerakan tritura ini semakin meningkatt sehingga pemerintah tak lagi mampu
menanganinya. Dalam situasi yang demikian maka pada tanggal 11 Maret 1966.
presiden soekarno melayangkan surat perintah kepada soeharto yang sering kita
kenal dengan sebutan SUPERSEMAR.
E.
UUD 1945 Pada Masa Orde Baru
Pada masa
Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan akan menjalankan UUD 1945 dan
Pancasila secara murni dan konsekuen. Namun pelaksanaannya ternyata menyimpang
dari Pancasila dan UUD 1945 yang murni,terutama pelanggaran pasal 23 (hutang
Konglomerat/private debt dijadikan beban rakyat Indonesia/public debt) dan 33
UUD 1945 yang memberi kekuasaan pada pihak swasta untuk menghancur hutan dan
sumberalam kita.
Pada masa
Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat "sakral",
diantara melalui sejumlah peraturan:
•
Ketetapan
MPR Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk
mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya
•
Ketetapan
MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila
MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus minta pendapat rakyat
melalui referendum.
•
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan TAP MPR Nomor
IV/MPR/1983.
F.
UUD 1945 Pada Masa Reformasi
Salah satu
keberhasilan yang dicapai oleh bangsa Indonesia pada masa reformasi adalah
reformasi konstitusional (constitutional reform). Reformasi konstitusi
dipandang merupakan kebutuhan dan agenda yang harus dilakukan karena UUD 1945
sebelum perubahan dinilai tidak cukup untuk mengatur dan mengarahkan
penyelenggaraan negara sesuai harapan rakyat, terbentuknya good governance,
serta mendukung penegakan demokrasi dan hak asasi manusia.
Salah satu
tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD
1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa
Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di
tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal
yang terlalu "luwes" (sehingga dapat menimbulkan multitafsir), serta
kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum
cukup didukung ketentuan konstitusi.
Tujuan
perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan
negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara
demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan
aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan
diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan
kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem
pemerintahan presidensiil.
Dalam
kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen) yang
ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
•
Sidang
Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999 → Perubahan Pertama UUD 1945
•
Sidang
Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000 → Perubahan Kedua UUD 1945
•
Sidang
Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001 → Perubahan Ketiga UUD 1945
•
Sidang
Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002 → Perubahan Keempat UUD 1945
Mewujudkan
amanat reformasi perlu adanya pembenahandan penataan kembali terhadap system
ketatanegaraan dan pemerintahan Negara.Masalah utama Negara hukum Indonesia
adalah UUD 1945 yang bersifat otorian, maka agenda utam pemerintahan pasca
Soeharto adalah reformasi konstitusi. Akhirnya, lahirlah beberapa amandemen
terhadap UUD 1945. Hasil amandemen konstitusi mempertegas deklarasi Negara hukum,
dari semula hanya ada di dalam penjelasan, menjadi bagian batang tubuh UUD
1945. Konsep pemisahan kekuasaan Negara ditegaskan. MPR tidak lagi mempunyai
kekuasaan yang tak terbatas. Presiden tidak lagi membentuk undang-undang,
tetapi hanya berhak mengajukan dan membahas RUU. Kekuasaan diserahkan kembali
kepada yang berhak, yakni DPR.
Akuntabilitas
politik melalui proses rekrutmen anggota parlemen dan Presiden secara langsung,
diperkuat lagi dengan system pemberhentian mereka jika melakukan
tindakan-tindakan yang melanggar hukum dan konstitusi.
Kekuasaan
kehakiman yang mandiri diangkat dari penjelasan menjadi materi Batang Tubuh UUD
1945. Lebih jauh, mahkamah konstitusi dibentuk untuk mengawal kemurnian fungsi
dan manfaat konstitusi, karena salah satu kewenangan MK adalah melakukan
constitutional review, menguji keabsahan aturan undang-undang bila dihadapkan
kepada aturan konstitusi.
Satu hal
yang perlu dicatat, bahwa amandemen UUD 1945 ini hanya dilakukan terhadap
batabg tubuh UUD 1945 [pasal-pasal] tetapi tidak dilakukan terhadap pembukaan
UUD 1945. Terdapat asumsi bahwa melakukan perubahan terhadap pembuukaan UUD
1945 pada dasarnya akan mengubah Negara Indonesia yang diproklamasikan pada
tanggal 17 Agustus 1946. Karena pembukaan UUD 1945 hakikatnya adalah jiwa dan
ruh Negara proklamasi, sementara dasar Negara Republik Indonesia, yakni
Pancasila juga terdapat dalam Pembukaan UUD 1945. Maka sistematika dan rumusan
Pancasila tidak mengalami perubahan.
BAB
IV
PENUTUP
3.4.
Kesimpulan
1.
Pancasila
adalah suatu objek yang merupakan sasaran pembahasan dan pengkajian Pancasila,
baik yang bersifat empiris maupun nonempiris.
2.
Sebagai dasar
negara, Pancasila merupakan suatu asas kerokhanian yang dalam ilmu kenegaraan
popular disebut sebagai dasar filsafat negara (Philosofische Gronslag).
3.
Kedudukan
Pancasila dalam pembukaan UUD 1945 adalah sebagai sumber dari segala sumber
hukum Indonesia.
4.
Kedudukan
Pembukaan UUD 1945 memiliki 2 aspek yang sangat fundamental, yaitu :
4.1.
Memberikan
faktor-faktor mutlak bagi terwujudnya tertib hukum Indonesia dan
4.2.
Memasukkan diri
dalam tertib hukum Indonesia sebagai tertib hukum tertinggi.
5.
Negara
Indonesia adalah negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum, oleh karena itu
segala aspek dalam
pelaksanaan dan penyelenggaraan negara diatur dalam suatu system peraturan
perundang-undangan.
3.5.
Saran
Kita sebagai bangsa Indonesia, harus mampu mencermati nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan
bernegara, sebagai masyarakat madani, yaitu masyarakat yang tidak buta akan
posisi dasar negara, hendaknya kita bisa mengaplikasikan semua aspek-aspek yang
terkandung dalam Pancasila kedalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR
PUSTAKA
•
http://tulang-rusukku.blogspot.com/2012/04/dinamika-pelaksanaan-uud-1945.html
•
http://diary-mybustanoel.blogspot.com/2012/02/makalah-pancasila-dalam-konteks.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar