Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga
makalah ini dapat kami selesaikan, makalah ini merupakan syarat untuk
melengkapi nilai tugas mata kuliah pendidikan agama.
Keberhasilan makalah ini tidak lain juga disertai referensi-referensi serta
bantuan dari pihak-pihak yang bersangkutan. Makalah ini juga masih memiliki kekurangan
dan kesalahan, baik dalam penyampaian materi atau dalam penyusunan makalah ini.
Penyusunan makalah ini juga dimaksudkan untuk menambah wawasan mahasiswa mengenai
materi ini. Juga menjadikan pedoman untuk bertindak dan bertingkah laku baik,
dan menuruti syariat agama islam, Sehingga kritik dan saran yang membangun sangat
kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya kami menyampaikan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung
sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
|
……………………………………………….
|
I
|
|
DAFTAR ISI
|
……………………………………………….
|
II
|
|
BAB I
PENDAHULUAN
|
……………………………………………….
|
1
|
|
A
|
Latar Belakang
|
……………………………………………….
|
1
|
B
|
Topik Bahasan
|
……………………………………………….
|
1
|
C
|
Tujuan Penulisan Makalah
|
……………………………………………….
|
2
|
D
|
Manfaat Penulisan
|
……………………………………………….
|
2
|
BAB II
PEMBAHASAN
|
……………………………………………….
|
3
|
|
A
|
Manusia Dan Alam Semesta
|
……………………………………………….
|
3
|
B
|
Manusia Menurut Agama Islam
|
……………………………………………….
|
4
|
C
|
Agama Arti Dan Ruang Lingkupnya
|
……………………………………………….
|
8
|
D
|
Hubungan Manusia Dengan Agama
|
……………………………………………….
|
9
|
BAB III
PENUTUP
|
……………………………………………….
|
12
|
|
A
|
Kesimpulan
|
……………………………………………….
|
12
|
B
|
Saran
|
……………………………………………….
|
12
|
DAFTAR PUSTAKA
|
……………………………………………….
|
13
|
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Agama adalah fitrah “ketentuan mutlak” bagi Manusia
tanpa manusia agama bukan berarti apa-apa, karena Agama memang ditujukan bagi
manusia.
Pengertian Agama berasal dari bahasa sansekerta.
Menurut pengertian umat hindu penganut mazhab siwa, kata agama yang
dipergunakan dalam bahasa Indonesia sebagai istilah kerohanian, berasal dari
kata Gam yang berarti pergi, Gam diberi awalan “A” yang berarti Agam berarti
kebalikan dari pergi yang artinya datang, dan diberi akhiran “A” menjadi agama
dengan arti kedatangan.
Agama sangatlah penting dalam kehidupan manusia.
Demikian pentingnya agama dalam kehidupan manusia, sehingga diakui atau tidak
sesungguhnya manusia, sangatlah membutuhkan agama. Dan sangatlah dibutuhkannya
agama oleh manusia, tidak saja di masa primitif dulu sewaktu ilmu pengetahuan
belum berkembang, tetapi juga di zaman modern sekarang sewaktu ilmu dan
teknologi telah sedemikian maju.
Dimensi Agama yang telah dikonsepsikan manusia
adalah: adanya kepercayaan kepada Sang Pencipta, Adanya wahyu asli, dogma
teologi, yakin tentang adanya supranatural, adanya proses evolusi.
B. Topik Bahasan
Pada makalah ini kami akan membahas tentang manusia dan agama.
1.
Manusia dan Alam Semesta
2.
Manusia Menurut Agama Islam
3.
Agama: Arti dan Ruang Lingkupnya
4.
Hubungan Manusia dengan Agama
C. Tujuan Penulisan Makalah
Makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas yang
diberikan oleh bapak maskuri serta untuk menjelaskan
tentang hubunganmanusiadan agama.
D.
ManfaatPenulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah supaya
bisa menjadi bahan masukan dan pembelajaran bagi para pembaca khususnya bagi
para mahasiswa Sekolah Tinggi menejemen informatika ikmi Cirebon, tentang apa dan
bagaimana peranan hubungan manusia dan agama.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Manusia dan Alam Semesta
Dari sudut pandang manusia, yang ada adalah Allah Sang Pencipta dan alam
semesta yang diciptakan Allah. Sebelum Allah menciptakan Adam sebagai manusia
pertama, alam semesta telah diciptakan-Nya dengan tatanan kerja yang teratur,
rapi, dan serasi. Keteraturan, kerapian, dan keserasian ini dapat dilihat dari
dua kenyataan: Pertama,berupa keteraturan, kerapian, dan keserasian dalam
hubungan alamiah antara bagian-bagian di dalamnya dengan pola saling melengkapi
dan mendukung; Kedua, keteraturan yang ditugaskan kepada malaikat untuk menjaga
dan melaksanakannya. Kedua hal itulah yang membuat berbagai keteraturan,
kerapian, dan keserasian yang kita yakini sebagai Sunnatullah yakni ketentuan
dan hukum yang ditetapkan Allah. Seperti pada matahari sebagai pusat dari
sistem tata surya, berputar pada sumbunya dan memancarkan energinya kepada alam
semesta secara teratur dan tetap.
Ada tiga sifat utama Sunnatullah yang disinggung dalam Al-Qur’an, yaitu:
pasti, tetap, dan obyektif. Sifat yang pertama, yaitu pasti, tentu menjamin dan
memberi kemudahan kepada manusia membuat rencana, sehingga dapat membuat
perhitungan yang tepat menurut Sunnatullah: -"… Dia telah
menciptakan sesuatu, dan Dia (pula yang) memastikan (menentukan) ukurannya
dengan sangat rapi." (QS 25:2) "… Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan
(kepastian) bagi tiap sesuatu." (QS 65:3) -Sifat yang kedua
adalah tetap, tidak berubah-ubah: "… Tidak ada yang sanggup menggubah
kalimat-kalimat Allah." (QS 6:115) "… Dan engkau tidak akan menemui perubahan dalam
Sunnah kami …" (QS 17:77) -Sifat yang ketiga adalah obyektif: "…, bahwasanya
dunia ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh." (QS 21:105).
Demikianlah alam semesta diciptakan Allah dengan hukum-hukum yang berlaku
baginya yang (kemudian) diserahkan-Nya kepada manusia untuk dikelola dan
dimanfaatkan, sebagai khalifah. Untuk dapat menjalankan kedudukannya itu
manusia diberi bekal berupa potensi seperti akal yang melahirkan berbagai ilmu
sebagai alat untuk mengelola dan memanfaatkan alam semesta serta mengurus bumi
ini. "Dia telah mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya
…" (QS 2:31) Dengan akal dan ilmu yang dikuasainya, manusia akan
mampu mengelola dan memanfaatkan alam semesta serta bumi ini untuk kepentingan
manusia serta makhluk lain. Atas pelaksanaan amanat tersebut manusia akan
dimintai pertanggungjawabannya di akherat apakah telah mengikuti dan mematuhi
pola dan garis besar yang diberikan melalui para nabi dan rasul yang termuat
dalam ajaran agama.
B.
Manusia Menurut Agama Islam
Al-Qur’an tidak menggolongkan manusia ke dalam kelompok hewan selama
manusia mempergunakan akal dan karunia Tuhan lainnya. Namun bila manusia tidak
mempergunakan akal dan berbagai potensi pemberian Tuhan yang sangat tinggi
nilainya seperti: pemikiran, kalbu, jiwa, raga, serta pancaindera secara baik
dan benar, ia akan menurunkan derajatnya sendiri menjadi hewan: "… Mereka
(manusia) punya hati tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat
Allah), punya mata tetapi tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda
kekuasaan Allah), punya telinga tetapi tidak mendengar (ayat-ayat Allah).
Mereka (manusia) yang seperti itu sama (martabatnya) dengan hewan bahkan lebih
rendah (lagi) dari binatang." (QS 7:179).
Di dalam Al-Qur’an manusia disebut antara lain dengan al-insan (QS 76:1),
an-nas (QS 114:1), basyar (QS 18:110), bani adam (QS 17:70). Berdasarkan studi
isi Al-Qur’an dan Al-Hadits, manusia (al-insan) adalah makhluk ciptaan Allah
yang memiliki potensi untuk beriman kepada Allah dan dengan mempergunakan akalnya
mampu memahami dan mengamalkan wahyu serta mengamati gejala-gejala alam,
mempunyai rsa tanggung jawab atas segala perbuatannya dan berakhlak (N.A.
Rasyid, 1983: 19). Berdasarkan rumusan tersebut, manusia mempunyai berbagai
ciri sebagai berikut:
1.
Makhluk yang paling
unik, dijadikan dalam bentuk yang sangat baik, ciptaan Tuhan yang paling
sempurna. "Sesungguhnya Kami telah menjadikan manusia dalam
bentuk yang sebaik-baiknya." (QS 95:4)
2.
Manusia memiliki
potensi (daya atau kemampuan yang mungkin dikembangkan) beriman kepada Allah. "… ‘Bukankah Aku
ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.’
" (QS 7:172)
3.
Manusia diciptakan
Allah untuk mengabdi kepada-Nya. "Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku." (QS 51:56)
4.
Manusia diciptakan
Tuhan untuk menjadi khalifahnya di bumi. "Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesunggunya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ … " (QS 2:30)
5.
Manusia dilengkapi
akal, perasaan, dan kemauan atau kehendak. "Dan katakanlah:
‘kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman)
hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.’
…" (QS 18:29}
6.
Manusia secara
individual bertanggung jawab atas segala perbuatannya. "… Setiap orang
(manusia) terikat (bertanggung jawab) terhadap apa yang dilakukannya." (QS
52:21)
7.
Manusia itu berakhlak. Manusia menurut agama
Islam, terdiri dari dua unsur, yaitu unsur materi berupa tubuh yang berasal
dari tanah dan unsur immateri berupa roh yang berasal dari alam gaib. Al-Qur’an
mengungkapkan proses penciptaan manusia: "Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia
dari suatu saripati (berasal dari) tanah [12]. Kemudian Kami jadikan saripati
itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim) [13]. Kemudian air
mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan
segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu
tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan ia
makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci-lah Allah, Pencipta Yang Paling
Baik [14]. Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan
Yang memulai penciptaan manusia dari tanah [7]. Kemudian Dia menjadikan keturunannya
dari saripati air yang hina (air mani) [8]. Kemudian Dia menyempurnakan dan
meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi Kamu
pendengaran, penglihatan, dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur
[9]." (QS 23:12-14, 32:7-9)
Sedangkan menurut hadits, Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya, setiap
manusia dikumpulkan kejadiannya dalam perut ibunya selama empat puluh hari
sebagai nuthfah (air mani), empat puluh hari sebagai ‘alaqah (segumpal darah),
selama itu pula sebagai mudhghah (segumpal daging). Kemudian Allah mengutus
malaikat untuk meniupkan roh ke dalam tubuh manusia, yang berada dalam rahim
itu" (HR Bukhari dan Muslim)
Ali Syari’ati – sejarawan dan ahli sosiologi Islam terkemuka – mengemukakan
pendapatnya mengenai intrepretasi hakikat kejadian manusia. Manusia menpunyai
dua dimensi: dimensi ketuhanan (kecendrungan manusia untuk mendekatkan diri
kepada Allah) dan dimensi kerendahan atau kehinaan (lumpur mencerminkan
keburukan-kehinaan). Karena itulah manusia dapat mencapai derajat yang tinggi
namun dapat pula terperosok dalam lembah yang hina, yang manusia dibebaskan
untuk memilihnya.
Ali Syari’ati memberikan makna tentang filsafat manusia:
1.
Manusia tidaklah sama
(konsep hukum), tetapi bersaudara (asal kejadian).
2.
Manusia mempunyai
persamaan antara pria dan wanita (sumber yang sama yakni dari Tuhan).
3.
Manusia mempunyai
derajat yang lebih tinggi dari malaikat karena pengetahuan yang dimilikinya.
4.
Manusia memiliki
fenomena dualistis: terdiri dari tanah dan roh Tuhan, yang terdapat kebebasan
pada dirinya untuk memilih.
Atas kebebasan memilih tersebut, manusia bergerak dalam spektrum yang
mengarah ke jalan Tuhan atau sebaliknya mengarah ke jalan setan. Manusia dengan
akalnya sebagai suatu hidayah Allah kepada-Nya , memilih apakah ia akan
terbenam dalam lumpur kehinaan atau menuju ke kutub mulia ke arah Tuhan. Dalam
menentukan pilihan manusia memerlukan petunjuk yang benar yang terdapat dalam
agama Allah yaitu agama Islam, yang menyeimbangkan antara dunia dan akherat. "Sesungguhnya
agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam …" (QS 3:19)
Manusia sebagai makhluk Ilahi hidup dan kehidupannya berjalan melalui lima
tahap: (1) alam gaib, (2) alam rahim, (3) alam dunia, (4) alam barzakh, dan (5)
alam akherat. Dari kelima tahapan kehidupan manusia itu, tahap kehidupan di
dunia merupakan tahap yang menentukan tahap kehidupan selanjutnya, sehingga
manusia dikaruniai Allah dengan berbagai alat perlengkapan dan bekal agar dapat
menjalankan tugas sebagai khalifah di bumi, serta pedoman agar selamat
sejahtera di dunia dalam perjalanannya menuju tempatnya yang kekal di akherat
nanti. Pedoman itu adalah agama.
Sesunguhnya manusia diciptakan Allah untuk beribadah kepada-Nya. Apa arti
ibadah? Apakah secara ritual menyembah Allah, shalat lima waktu, puasa, zakat,
dan berhaji saja? Bila memang itu maknanya, lalu bagaimana dengan usaha
mempertahankan hidup? Apakah hanya dengan shalat maka hidangan akan disediakan
Allah begitu saja? Tentu tidak, kita sebagai manusia harus berusaha memperoleh
makan dan minum. Sebagai manusia kita harus bekerja untuk memperoleh
penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidup. Bila ibadah hanya diartikan sebatas
pada ibadah ritual belaka dan tidak memasukkan bekerja sebagai suatu ibadah
pula, maka merugilah manusia karena hanya sedikit dari waktunya untuk
beribadah, bila dibandingkan ibadah dalam artian luas yang tidak terbatas pada
ibadah ritual belaka. Tujuan ibadah: "Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah
menciptakanmu dan orang-orang sebelummu, agar kamu bertaqwa." (QS 2:21).
Prof.DR. M. Mutawwali As-Sya’rani mengutarakan bahwa: manusia diberi sarana
oleh-Nya, diberi bumi yang tunggal dan beribadah pada-Nya, Alah telah memberi
kewajiban-kewajiban, karenanya Allah meminta hak agar manusia beribadah
kepada-Nya dengan tujuan agar manusia dapat terhindar dari soal-soal buruk yang
merugikan di dunia.
C.
Agama: Arti dan Ruang Lingkupnya
Sesuai dengan asal muasal katanya (sansekerta: agama,igama, dan ugama) maka
makna agama dapat diutarakan sebagai berikut: agama artinya peraturan, tata
cara, upacara hubungan manusia dengan raja; igama artinya peraturan, tata cara,
upacara hubungan dengan dewa-dewa; ugama artinya peraturan, tata cara, hubungan
antar manusia; yang merupakan perubahan arti pergi menjadi jalan yang juga
terdapat dalam pengertian agama lainnya. Bagi orang Eropa, religion hanyalah
mengatur hubungan tetap (vertikal) anatar manusia dengan Tuhan saja. Menurut
ajaran Islam, istilah din yang tercantum dalam Al-Qur’an mengandung pengertian
hubungan manusia dengan Tuhan (vertikal) dan hubungan manusia dengan manusia
dalam masyarakat termasuk dirinya sendiri, dan alam lingkungan hidupnya
(horisontal).
"… Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah kuridhai Islam itu jadi agama(din)
bagimu …" (QS 5:3)
"Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika
mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia
…" (QS 3:112)
Persamaan istilah agama tidak dapat dijadikan alasan untuk menyebutkan
bahwa semua agama adalah sama, karena adanya perbedaan makna atas istilah agama
tersebut, yang berbeda atas sistem, ruang lingkupnya, dan klasifikasinya.
Karena agama merupakan kepentingan mutlak setiap orang dan setiap orang
terlibat dengan agama yang dipeluknya maka tidaklah mudah untuk membuat suatu
defenisi yang mencakup semua agama, namun secara umum dapat didefenisikan
sebagai berikut: agama adalah kepercayaan kepada Tuhan yang dinyatakan dengan
mengadakan hubungan dengan-Nya melalui upacara, penyembahan dan permohonan, dan
membentuk sikap hidup manusia menurut atau berdasarkan ajaran agama itu.
D.
Hubungan Manusia dengan Agama
Tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah sebagai
pencipta alam semesta. Allah sendiri yang mencipta dan memerintahkan
ciptaan-Nya untuk beribadah kepada-Nya, juga menurunkan panduan agar dapat
beribadah dengan benar. Panduan tersebut diturunkan Allah melalui nabi-nabi dan
rasul-rasul-Nya, dari Adam AS hingga Muhammad SAW. Nabi-nabi dan rasul-rasul
tersebut hanya menerima Allah sebagai Tuhan mereka dan Islam sebagai panduan
kehidupan mereka. Beribadah diartikan secara luas meliputi seluruh hal dalam
kehidupan yang ditujukan hanya kepada Allah. Kita meyakini bahwa hanya Islamlah
panduan bagi manusia menuju kebahagiaan dunia dan akherat. Islam telah mengatur
berbagai perihal dalam kehidupan manusia. Islam merupakan sistem hidup, bukan
sekedar agama yang mengatur ibadah ritual belaka.
Sayangnya, pada saat ini, kebanyakan kaum muslim tidak memahami hal ini.
Mereka memahami ajaran Islam sebagaimana para penganut agama lain memahami
ajaran agama mereka masing-masing, yakni bahwa ajaran agama hanya berlaku di
tempat-tempat ibadah dan dilaksanakan secara ritual, tanpa ada aplikasi dalam
kehidupan sehari-hari. Hal tersebut biasanya disebabkan karena dua hal:
Pertama, terjadinya gerakan pembaruan di Eropa yang fikenal sebagai Renaissance
dan Humanisme, sebagai reaksi masyarakat yang dikekang oleh kaum gereja pada
masa abad pertengahan atau Dark Ages, kaum gereja mendirikan mahkamah inkuisisi
yang digunakan untuk menghabisi para ilmuwan, cendikiawan, serta pembaharu.
Setelah itu, pada masa Renaissance, masyarakat menilai bahwa Tuhan hanya
berkuasa di gereja , sedangkan di luar itu masyarakat dan rajalah yang
berkuasa. Paham dikotomis ini kemudian dibawa ke Asia melalui penjajahan yang
dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa; Kedua, masih adanya ulama-ulama yang jumud,
kaku dalam menerapkan syariat-syariat Islam, tidak dapat atau tidak mau
mengikuti perkembangan jaman. Padahal selama tidak melanggar Al-Qur’an dan
Hadits, ajaran-ajaran Islam adalah luwes dan dapat selalu mengikuti
perkembangan zaman. Akibat kejumudan tersebut, banyak kalangan masyrakat yang
merasa takut atau kesulitan dalam menerapkan syariat-syariat Islam dan
menilainya tidak aplikatif. Ini membuat masyarakat semakin jauh dari syariat
Islam.
Paham dikotomis melalui sekularisme tersebut antara lain dipengaruhi
terutama oleh pemikiran August Comte melalui bukunya Course de la Philosophie
Positive (1842) mengemukakan bahwa sepanjang sejarah pemikiran manusia
berkembang melalui tiga tahap:
(1) tahap teologik, (2) tahap
metafisik, dan (3) tahap positif; pemikiran tersebut melahirkan filsafat
positivisme yang mempengaruhi ilmu pengetahuan sosial dan humaniora, melalui
sekularisme.
Namun teori tersebut tidaklah benar, sebab perkembangan pemikiran manusia
tidaklah demikian, seperti pada zaman modern ini (tahap ketiga), manusia masih
tetap percaya pada Tuhan dan metafisika, bahkan kembali kepada spiritualisme.
Sejarah umat manusia di barat menunjukkan bahwa dengan mengenyampingkan
agama dan mengutamakan ilmu dan akal manusia semata-mata telah membawa krisis
dan malapetaka. Atas pengalamannya tersebut, kini perhatian manusia kembali
kepada agama, karena: (1) Ilmuwan yang selama ini meninggalkan agama, kembali
pada agama sebagai pegangan hidup yang sesungguhnya, dan (2) harapan manusia
pada otak manusia untuk memecahkan segala masalah di masa lalu tidak terwujud.
Kemajuan ilmu pengetahuan telah membawa manusia pada tingkat kesejahteraan
yang lebih tinggi, namun dampak negatifnya juga cukup besar berpengaruh pada
kehidupan manusia secara keseluruhan. Sehingga untuk dapat mengendalikan hal
tersebut diperlukan agama, untuk diarahkan untuk keselamatan dan kebahagiaan
umat manusia.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa agama sangat diperlukan oleh manusia
sebagai pegangan hidup sehingga ilmu dapat menjadi lebih bermakna, yang dalam
hal ini adalah Islam. Agama Islam adalah agama yang selalu mendorong manusia
untuk mempergunakan akalnya memahami ayat-ayat kauniyah (Sunnatullah) yang
terbentang di alam semesta dan ayat-ayat qur’aniyah yang terdapat dalam
Al-Qur’an, menyeimbangkan antara dunia dan akherat. Dengan ilmu kehidupan
manusia akan bermutu, dengan agama kehidupan manusia akan lebih bermakna,
dengan ilmu dan agama kehidupan manusia akan sempurna dan bahagia.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan :
Agama menurut bahasa sangsakerta, agama berarti tidak kacau (a =
tidak gama = kacau) dengan kata lain, agama merupakan tuntunan hidup yang dapat
membebaskan manusia dari kekacauan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa agama
sangat diperlukan oleh manusia sebagai pegangan hidup sehingga ilmu dapat
menjadi lebih bermakna, yang dalam hal ini adalah Islam. Akhlak yang terpuji
sangat penting dimiliki oleh setiap masyarakat sebab maju mundurnya
suatu bangsa atau Negara amat tergantung kepada akhlak tersebut. Agama Islam
adalah agama yang selalu mendorong manusia untuk mempergunakan akalnya memahami
ayat-ayat kauniyah (Sunnatullah) yang terbentang di alam semesta
dan ayat-ayat qur’aniyah yang terdapat dalam Al-Qur’an, menyeimbangkan
antara dunia dan akherat. Dengan ilmu kehidupan manusia akan bermutu, dengan
agama kehidupan manusia akan lebih bermakna, dengan ilmu dan agama kehidupan
manusia akan sempurna dan bahagia.
Pendidikan adalah salah satu tujuan pokok manusia karena itu sebagai mahasiswa marilah kita mengamalkan tujuan pendidikan islam
secara ikhlas baik lewat pendidikan formal maupun informal. Kita sebagai manusia hendaknya berpegang
teguh pada nilai-nilai keagamaan sehingga kita bisa mendapat dan mencapai
keridhaan Allah SWT (Amin..).
DAFTAR PUSTAKA
·
Al-Qur’an dan Terjemahannya.
·
Al-Qardhawy, Yusuf. Fiqih Daulah dalam perspektif Al-Qur’an
dan Hadits. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
·
Ali, Mohammad Daud. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1998.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar